Keganjilan Pengendalian Tembakau dan Keterlibatan Mantan Pejabat

Adhitya Himawan Suara.Com
Sabtu, 31 Maret 2018 | 14:02 WIB
Keganjilan Pengendalian Tembakau dan Keterlibatan Mantan Pejabat
Produk rokok kretek dari industri rokok tanah air. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia belum beranjak lebih baik. Peneliti dari Lembaga Demografi Fakulta Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menyebut pemerintah setengah hati menerapkan kebijakan ini. Indonesia pun tinggal satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani dan mengakses Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.

Abdillah juga mengingatkan bahwa pada tahun 2009, Indonesia pernah mengalami skandal memalukan berupa, hilangnya ayat (2) pasal 113 Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Ayat (2) tersebut berbunyi, zat adiktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

Ada banyak rentetan rekam jejak aturan pengendalian tembakau yang setengah hati untuk memastikan pengendalian rokok berjalan maksimal. Abdillah mensinyalir besarnya ketergantungan negara terhadap penerimaan cukai rokok menjadi biang keladinya. “Dalam kondisi seperti ini, kekuatan bisnis memang bisa mempengaruhi kebijakan,” kata Abdillah.

Perkembangan Realisasi Pendapatan Cukai 2010-2015

Tabel 2 Penerimaan pegara dari cukai di lima golongan periode 2010 -2015.

Apalagi, masih kata Abdillah, intervensi industri rokok dalam perumusan kebijakan pengendalian tembakau oleh pemerintah memang mendapat restu resmi. Pasar 5 ayat 4 UU ayat 4 UU 39 Tahun 2007 tentang Cukai berbunyi: Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industry. “Di negara lain, keterlibatan industri rokok itu dibatasi. Di Indonesia itu justru sebaliknya,” kata Abdillah.

Menurut dia, keluarnya PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau tidak mendapatkan protes dari industri rokok besar di media. Ini menunjukkan kebijakan ini sudah sesuai aspirasi industri rokok besar. Sebaiknya ketentuan yang memperbolehken intervensi industri rokok harus dihapus dalam revisi UU Cukai yang baru nanti,” kata Ahsan, kepada Suara.com di Depok, Jawa Barat, Kamis (18/1/2018).

Ia juga tak menutup adanya kemungkinan intervensi industri rokok melalui tawaran imbalan berupa pemberian jabatan oleh perusahaan rokok terhadap pejabat pemerintah terkait regulasi industri rokok. Menurutnya, relasi industri rokok dengan dunia politik sangat erat. Banyak politisi membutuhkan dukungan dari industri rokok, sebaliknya industri rokok membutuhkan perlindungan politik untuk kepentingan bisnisnya. “Ada beberapa mantan pejabat di Kementerian Keuangan yang menjadi Komisaris di perusahaan rokok.. Ini bisa membuat kebijakan pengaturan industri rokok menjadi rancu” katanya.

Kecurigaan Abdillah diperkuat oleh Julius Ibrani, advokat dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Walaupun ia mengakui sampai saat ini belum ada bukti yang mengungkap adanya suap atau gratifikasi terhadap pejabat pemerintah oleh industri rokok. Hanya saja, peristiwa yang mengindikasikan dugaan tersebut pernah terjadi berulang kali.

Pegiat Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA), Julius Ibrani.

Pegiat Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA), Julius Ibrani. (Suara.com/Adhitya Himawan)


“Pada tahun 1992, ada pasal yang disunat. Tahun 2009 ada pasal yang disunat lagi. Bukan tidak mungkin kebiasaan itu terulang kembali. Sebaiknya aparat penegak hukum terutama KPK harus memberikan perhatian khusus pada proses pembuatan kebijakan yang terkait pengendalian tembakau di masa yang akan datang,” kata Julius dalam wawancara khusus dengan Suara.com di Jakarta, Rabu (10/1/2018).

Sulitnya upaya membongkar dugaan korupsi dalam proses pembuatan kebijakan pengendalian tembakau, menurut Julius, karena modusnya dilakukan dalam forum politik. Contohnya penyusunan kebijakan dan pembahasan strategi di Kementerian. Padahal tindak pidana korupsi yang paling mudah terungkap adalah yang bersifat transaksi dari penyelenggara negara yang menjual pengaruhnya kepada industri, entah itu tunai ataupun barang berharga.

“Nah dalam proses penyusuan kebijakan pengendalian rokok, keganjilannya ada. Tetapi “barangnya” tidak terlihat. Pada tahun 2014 kami sudah melaporkan kepada KPK soal keganjilan dalam penyusunan kebijakan pengendalian rokok. Sampai sekarang belum ada update-nya,” katanya.

Menurut Julius, dalam riset KPK disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang sulit sekali dibuktikan adalah pemberian fasilitas yang tidak diberikan pada saat ini. “Misalkan si penyelenggara negara akan pensiun, dia akan diberi jabatan Komisaris. Itu bisa 5 atau 10 tahun lagi baru terjadi. Atau anaknya kelak akan sekolah di luar negeri, dijanjikan akan dibiayai oleh perusahaan. Bisa juga dijanjikan diberikan saham, fasilitas dan janji – janji masa depan, ini sangat sulit dibuktikan,” tegasnya.

Suara.com sendiri mencoba membuktikan tudingan imbalan di masa depan yang dipraktikkan oleh perusahaan rokok terhadap pejabat pemerintah terkait. Suara.com kemudian melakukan penelusuran terhadap perusahaan rokok yang berstus perusahaan terbuka dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hingga saat ini baru ada empat nama emiten rokok yang mewarnai papan perdagangan di BEI. Empat emiten dimaksud antara lain adalah PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Handjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM).

Hasilnya, Suara.com menemukan dua nama yang pernah menjadi pejabat eselon I Kementerian Keuangan yang kini menikmati posisi tinggi di perusahaan rokok PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA). Namun PT Bentoel International Investama Tbk membantah telah berupaya mempengaruhi kebijakan dengan memberikan imbalan jabatan kepada pejabat pemerintah itu. Mereka berdalih penunjukan pejabat itu sebagai sebagai Komisaris Independen Bentoel sudah sesuai aturan yang berlaku.

“Tidak ada konflik kepentingan dalam penunjukan Dewan Komisaris di perusahaan kami. Sebagai bagian dari kepatuhan perusahaan, Bentoel senantiasa menjunjung tinggi prinsip tata kelola perusahaan yang baik dengan menerapkan Kode Etik yang ketat dalam melakukan bisnis, baik di dalam perusahaan maupun dalam berhubungan dengan pihak luar,” kata Mercy Francisca Hutahaean - Direktur Legal & External Affairs, PT Bentoel International Investama Tbk, kepada Suara.com melalui jawaban tertulis, Kamis (29/3/2018).

Sebagai perusahaan terbuka, Mercy menegaskan bahwa Bentoel juga taat dan tunduk pada peraturan yang berlaku di Indonesia.Antara lain aturan yang mensyaratkan adanya fungsi pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Fungsi tersebut dijalankan oleh Dewan Komisaris.

“Untuk itu, Bentoel merekrut figur-figur yang ahli di bidangnya masing-masing untuk menjalankan fungsi tersebut sebagai Komisaris Independen yang diawasi secara langsung oleh OJK,” tutup Mercy.

Suara.com juga meminta konfirmasi terhadap Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai Kemkeu Marisi ZainudinSihotang. Ia berkelit Ditjen Bea Cukai tak memiliki kewenangan mengatur regulasi cukai bagi industry rokok. “Untuk besarnya kebijakan tarif cukai, merupakan kewenangan BKF,” katanya saat dihubungi Suara.com, Kamis (29/3/2018).

Ia juga menolak berkomentar soal dua orang mantan pejabat kementerian keuangan yang duduk sebagai Komisaris di PT Bentoel International Investama Tbk dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. “Saya no comment untuk itu, Mas,” katanya.

Ombudsman Akui Potensi Buruk Rangkap Jabatan Pejabat Pemerintah di Perusahan Rokok

Soal rangkap jabatan sendiri diakui oleh Ombudsman RI berpotensi akan menganggu pelayanan public. Dalam wawancara khusus dengan Komisioner Ombudsman, Laode Ida, di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Rabu (24/1/2018), Laode menegaskan dalam Pasal 17 ayat 1 UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, sudah disebut dengan tegas bahwa Presiden hingga Aparatur Sipil Negara (ASN) dilarang untuk rangkap jabatan sebagai Komisaris baik itu di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

“Dia tidak boleh menerima pendapatan dari uang negara lebih dari satu, di luar jabatan resminya. Ini bisa mengganggu pelayanan publik,” katanya.

Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida di Jakarta. [Suara.com/Adhitya Himawan]

Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida di Jakarta. [Suara.com/Adhitya Himawan]

Hanya saja pelarangan itu memang tidak mencakup rangkap jabatan di perusahaan swasta. Menurutnya, tidak ada pelarangan rangkap jabatan ASN dengan perusahaan swasta karena setiap orang yang menjadi pegawai negara berhak untuk memiliki penghidupan layak melalui bisnis, di luar penghasilan resminya. Sebab PNS sekalipun berhak untuk memiliki hidup yang layak.

“Sepanjang itu tidak terjadi konflik kepentingan, tidak masalah,” dalih Laode.

Mengenai dugaan adanya pejabat pemerintahan terkait regulasi industri rokok yang merangkap jabatan di perusahaan rokok, Laode dengan tegas menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran. Meskipun rangkap jabatan itu terjadi di perusahaan swasta dan ia memperoleh pendapatan sampingan di luar uang negara, tetap saja fenomena ini bisa menganggu pejabat bersangkutan dalam menjalankan tugasnya. “Karena dia rangkap jabatan di perusahaan yang bergerak di bidang yang diaturnya,” imbuh Laode.

Laode menegaskan dalam kondisi seperti itu, penegakan kode etik di instansi negara masing-masing menjadi kunci. Seharusnya jika terjadi peristiwa seperti itu, seharusnya pimpinan dari pejabat yang melakukan rangkap jabatan yang mengambil tindakan tegas, termasuk sanksi. “Pimpinan di instansi tersebut harus meminta pejabat bersangkutan untuk menentukan pilihan tetap di pemerintahan atau di swasta,” tuturnya.

Soal Tuduhan Beri Fasilitas ke Pemerintah, Ini Jawaban Asosiasi Industri Rokok

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Muhaimin Moefti membantah kalangan industri rokok kerap memberikan atau menawarkan berbagai fasilitas untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Mayoritas anggota Gaprindo adalah perusahaan asing yang tunduk pada hukum yang berlaku di negara asal mereka.

“Dalam hukum mereka, praktik seperti itu dilarang dengan sangat ketat. Tidak pernah ada tawaran fasilitas atau gratifikasi dari kami pada pemerintah,” kata Moefti kepada Suara.com, di Jakarta, Selasa (6/2/2018).

Nasrudin Djoko Surjono, Kabid Kebijakan Kepabeanan dan Cukai, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dalam wawancara khusus dengan Suara.com di Jakarta, Senin (22/1/2018), membantah dengan tegas bahwa ada intervensi industri rokok berupa tawaran jabatan di perusahaan atau fasilitaslain dalam bentuk apapun. Menurutnya, proses perumusan dan penyusunan kebijakan pengendalian tembakau berlangsung transparan dan melibatkan stake holder yang begitu luas.

“Tidak akan pernah bisa ada perusahaan yang mendikte pembuatan sebuah kebijkan. Karena proses ini tidak ditentukan oleh satu orang yang bisa serta merta pasang harga,” katanya.

Sejak awal awal hingga akhir, semua regulasi termasuk PMK tentang cukai yang terbaruini harus melewati tahapan yang berlapis di setiap tingkat eselon sebelum sampai ke meja Menteri Keuangan. Di setiap tahapan, hasil dari pembahasan oleh eselon yang lebih rendah pasti akan dites kembali oleh pimpinan eselon yang lebih tinggi, termasuk tahap akhir dilakukan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

“Jadi sulit sekali untuk industri rokok melakukan intervensi. Karena tidak hanya melibatkan saya sendiri, tetapi terus naik ke para pimpinan sampai yang tertinggi. Kalau ada tuduhan seperti itu harus dibuktikan. Sampai saat ini saya tidak pernah melihat itu di BKF. Kami betul-betul menjaga komitmen dari masyarakat dan kode etik,” tegasnya.

Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar, Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan, Sunaryo juga membantah bahwa pemerintah loyo berhadapan dengan industri rokok akibat terkena intervensi.

Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir jumlah industri rokok yang bertahan di Indonesia telah menurun drastis. Pada tahun 2005, ada 6000 perusahaan rokok dari yang kecil hingga besar hidup di Indonesia. “Kita pernah ditertawakan, dalam forum internasional karena jumlah perusahaan rokok di Indonesia begitu besar. Kemudian kita perketat aturan usahanya, kita verifikasi ulang, hingga jumlahnya menyusut menjadi 700 perusahaan pada akhir tahun lalu,” kata Sunaryo usai diskusi publik tentang cukai vape di Jakarta, Sabtu (27/1/2018).

Menyangkut penaikan cukai rokok SPM yang lebih tinggi dibandingkan rokok kretek, Sunaryo mengakui pemerintah memang memperhatikan faktor bahwa industri rokok kategori SKT merupakan industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja. Adapun untuk industri rokok kategori SKM, meskipun penaikan cukai rokoknya lebih rendah dari SPM, namun HJE rokok SKM lebih tinggi dibanding HJE rokok SPM.

Sunaryo, Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar, Ditjen Bea Cukai. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Sunaryo, Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar, Ditjen Bea Cukai, Kementerian Keuangan. [Suara.com/Adhitya Himawan

“Jadi tidak benar kalau kebijakan pengendalian tembakau dilakukan pemerintah setengah hati. Selain itu kalau semua jenis rokok dinaikkan cukainya dengan begitu tinggi, maka ratusan perusahaan rokok akan mati. Hanya perusahaan rokok di atas (besar,red) yang mampu bertahan, yang di bawah pada mati semua. Tentu pasar industri rokok kita akan tercipta oligopoli. Mau kita jadi oligopoli?,” urainya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI