Suara.com - Kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia belum beranjak lebih baik. Peneliti dari Lembaga Demografi Fakulta Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menyebut pemerintah setengah hati menerapkan kebijakan ini. Indonesia pun tinggal satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani dan mengakses Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau.
Abdillah juga mengingatkan bahwa pada tahun 2009, Indonesia pernah mengalami skandal memalukan berupa, hilangnya ayat (2) pasal 113 Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Ayat (2) tersebut berbunyi, zat adiktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
Ada banyak rentetan rekam jejak aturan pengendalian tembakau yang setengah hati untuk memastikan pengendalian rokok berjalan maksimal. Abdillah mensinyalir besarnya ketergantungan negara terhadap penerimaan cukai rokok menjadi biang keladinya. “Dalam kondisi seperti ini, kekuatan bisnis memang bisa mempengaruhi kebijakan,” kata Abdillah.
Tabel 2 Penerimaan pegara dari cukai di lima golongan periode 2010 -2015.
Apalagi, masih kata Abdillah, intervensi industri rokok dalam perumusan kebijakan pengendalian tembakau oleh pemerintah memang mendapat restu resmi. Pasar 5 ayat 4 UU ayat 4 UU 39 Tahun 2007 tentang Cukai berbunyi: Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industry. “Di negara lain, keterlibatan industri rokok itu dibatasi. Di Indonesia itu justru sebaliknya,” kata Abdillah.
Menurut dia, keluarnya PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau tidak mendapatkan protes dari industri rokok besar di media. Ini menunjukkan kebijakan ini sudah sesuai aspirasi industri rokok besar. Sebaiknya ketentuan yang memperbolehken intervensi industri rokok harus dihapus dalam revisi UU Cukai yang baru nanti,” kata Ahsan, kepada Suara.com di Depok, Jawa Barat, Kamis (18/1/2018).
Ia juga tak menutup adanya kemungkinan intervensi industri rokok melalui tawaran imbalan berupa pemberian jabatan oleh perusahaan rokok terhadap pejabat pemerintah terkait regulasi industri rokok. Menurutnya, relasi industri rokok dengan dunia politik sangat erat. Banyak politisi membutuhkan dukungan dari industri rokok, sebaliknya industri rokok membutuhkan perlindungan politik untuk kepentingan bisnisnya. “Ada beberapa mantan pejabat di Kementerian Keuangan yang menjadi Komisaris di perusahaan rokok.. Ini bisa membuat kebijakan pengaturan industri rokok menjadi rancu” katanya.
Kecurigaan Abdillah diperkuat oleh Julius Ibrani, advokat dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Walaupun ia mengakui sampai saat ini belum ada bukti yang mengungkap adanya suap atau gratifikasi terhadap pejabat pemerintah oleh industri rokok. Hanya saja, peristiwa yang mengindikasikan dugaan tersebut pernah terjadi berulang kali.