Suara.com - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan impor bawang putih. Permintaan ini disampaikan karena kebijakan ini belum mampu membantu penurunan harga komoditas tersebut di pasaran.
"Saat ini, lebih dari 50 persen kebutuhan bawang putih di dalam negeri dipenuhi dari impor. Meski, impor bawang putih diterapkan tanpa menggunakan skema kuota, namun dinilai belum mampu membuat harga komoditas tersebut stabil," kata Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (22/3/2018).
Menurut dia, pemerintah harus menelusuri penyebab dari tingginya harga bawang putih di pasaran.
Jika memang murni karena permintaannya meningkat, maka pasokan harus ditambah.
"Tapi yang pasti ini terkait permintaan dan penawaran. Kalau ada kenaikan berarti kekurangan di sisi pasokan, ini yang harus ditelusuri. Kalau sistem kuota masih menjadi salah satu penyebab, tapi kalau dengan tarif, mungkin izin impornya yang terlambat atau mungkin proses di karantina lebih lama," ujarnya.
Selain itu, lanjut Enny, dengan keterbatasan produksi bawang putih di dalam negeri, saat ini importasi menjadi satu-satunya jalan keluar agar pasokan dan harga tetap terjaga.
Namun, Enny mengharapkan, impor yang dilakukan tidak sampai membuat petani bawang putih lokal rugi.
"Impor sebenarnya tidak apa-apa asal tidak mengganggu petani kita. Untuk bawang putih porsi impor memang masih besar, karena itu hanya bisa diproduksi di dataran tinggi," tandas dia.
Pada 2018, Kementerian Pertanian telah menerbitkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) komoditas bawang putih sebesar 450.000 ton.
Sedangkan realisasi importasi bawang putih pada 2018 tergantung kepada surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan.