Gugatan Holding BUMN Pertambangan Ditolak MA

Kamis, 15 Maret 2018 | 19:47 WIB
Gugatan Holding BUMN Pertambangan Ditolak MA
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Sabtu (12/3/2016). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Induk usaha pertambangan milik negara PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero), atau Inalum, menyambut baik putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatan uji materil materil atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Dalam Modal Saham Inalum. Gugatan ini diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat BUMN.

Putusan MA itu telah keluar pada 6 Maret, 2018. Hasil putusan atas perkara ini menegaskan PP 47/2017 tidak melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) BUMN dan UU Keuangan Negara, sehingga tetap sesuai dengan tujuan Undang-Undang Dasar (UUD 45) pasal 33 ayat 2 dan 3.

Budi G. Sadikin, Presiden Direktur PT Inalum, mengatakan Putusan MA tersebut memberikan kepastian hukum terkait status Holding industri pertambangan. "Keberadaan Holding, sebagai kepanjangan tangan negara, justru merupakan wujud nyata pelaksanaan UUD 1945 pasal 33,” kata Budi di Jakarta, Kamis (15/3/2018).

Mantan Direktur Utama Bank Mandiri tersebut berharap Putusan MA ini akan meyakinkan semua pihak terkait tujuan utama Holding BUMN Pertambangan.

"Yaitu untuk benar-benar menerapkan amanat UUD 1945 dimana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat,” tuturnya.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat BUMN resmi mendaftarkan uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) atas Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Dalam Modal Saham PT INALUM. Permohonan teregistrasi di Kapaniteraan MA dengan Nomor 001/HUM/2018.

Koalisi tersebut terdiri atas Dr. Ahmad Redi, Dr. Agus Pambagio, Marwan Batubara, Dr. Lukman Manaulang, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, serta Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Sahid Jakarta.

Ahmad mengatakan holdingisasi yang dilakukan Pemerintah dengan menghapus status BUMN (Persero) PT Antam, PT Bukit Asam, dan PT Timah merupakan kebijakan yang bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, UU Keuangan Negara, UU BUMN, dan UU Minerba.

Terbitnya PP 47/2017 membuat negara kehilangan penguasaaan secara langsung atas PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Padahal, menurut UU Keuangan Negara, penyertaan modal negara harus melalui mekanisme APBN yang berarti harus mendapat persetujuan DPR.

Selain itu, hilangnya kontrol Pemerintah dan DPR secara langsung pada ketiga perusahaan sangat berbahaya mengingat telah terjadi tranformasi kekayaan negara menjadi bukan kekayaan negara lagi. Hal ini berakibat pada hilangnya pengawasan keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI