"Persyaratan modal sekitar Rp5 miliar mungkin kecil bagi sebuah bank, tetapi hal ini sangat berat bagi BUMDes yang pendanaannya dari Dana Desa,” ujar Eko.
Tahun ini rata-rata per desa mendapat jatah Dana Desa sebesar Rp 800 juta sampai Rp 900 juta dari total Rp 60 Triliun Dana Desa se-Indonesia. Jumlah ini sama dengan tahun sebelumnya. Sedangkan tahun 2016 sebesar Rp 47 Triliun, meningkat dari tahun 2015 sebesar 20,76 triliun.
Karena itu, Eko berupaya mencarikan solusi atau format sinergi yang tepat antara BUMDes dengan BWM. Selain itu, lanjut Eko, kewenangan penggunaan Dana Desa berada di desa, bukan di Kemendes. “Sehingga kami hanya bisa memberikan saran dan imbauan saja, keputusan berada di desa.
Yang penting, lanjut Eko, BUMDes yang merupakan salah satu dari empat program prioritas Kemendes tersebut berjalan baik dan memberikan manfaat yang besar bagi warga.
“Sekarang sudah ada 10 ribu BUMDes di seluruh Indonesia yang telah bekerja sama dengan sejumlah Bank seperti bank BNI dan BRI. Kerja sama tersebut adalah dalam hal membantu masyarakat untuk melakukan transaksi keuangan secara online di desa, karena sulitnya masyarakat untuk menjangkau kantor cabang setiap bank yang ada di daerah,” terangnya.
BUMDes diberikan semacam Electronic Data Capture (EDC) yang merupakan alat untuk menerima pembayaran yang dapat menghubungkan antarrekening bank. Jadi, jelas Eko, BUMDes bisa menjadi seperti semacam kantor cabangnya Bank agar masyarakat tidak perlu lagi ke kantor cabang Bank. “Cukup ke BUMDes sudah bisa nabung, transfer dan ambil uang dan sebagainya dan itu hingga saat ini sudah berjalan," katanya.
Perlu diketahui, OJK merupakan inisiator berdirinya Bank Wakaf Mikro di sejumlah pondok pesantren. Saat ini sudah ada 20 BWM di wilayah Jawa. Dalam waktu dekat akan didirikan 20 BWM lainnya di seluruh Indonesia.
Keberadaan Bank Wakaf Mikro diharapkan bisa menyediakan akses permodalan atau pembiayaan bagi masyarakat yang belum terhubung dengan lembaga keuangan formal, khususnya di lingkungan pondok pesantren yang saat ini jumlahnya mencapai lebih dari 28 ribu di seluruh Indonesia.
Skema pembiayaan kepada nasabah sendiri adalah pembiayaan tanpa agunan dengan nilai maksimal Rp 3 juta dan margin bagi hasil setara 3 persen per tahunnya. Dalam pelaksanaannya, OJK juga menyediakan pelatihan dan pendampingan sesuai dengan mengikuti basis usaha masyarakat sekitar.
"Kalau di daerah itu banyaknya petani, kita bombing mulai dari nanemnya kapan, mupuknya kapan, sampai kalau panen kita siapin siapa yang beli," kata Ketua OJK Wimboh Santoso.
Dengan skema seperti ini, Wimboh juga optimis akan terciptanya sinergi antara BWM dengan BUMDes. Karena BUMDes yang sudah berjalan saat ini juga memiliki skema kerja yang nyaris sama, mulai dari pembiayaan, pembinaan hingga pemasaran produknya.