Penerimaan Pajak Sampai Februari 2018 Lebih Baik Dibanding 2017

Selasa, 13 Maret 2018 | 14:49 WIB
Penerimaan Pajak Sampai Februari 2018 Lebih Baik Dibanding 2017
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga, di Jakarta, Jumat (5/1).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hingga akhir Februari 2018, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 semakin baik dibandingkan periode yang sama tahun 2017.

Pendapatan Negara hingga akhir Februari 2018 mengalami pertumbuhan sebesar 17,1 persen, lebih tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun 2017 sebesar 9,4 persen. Perbaikan pertumbuhan Pendapatan Negara tersebut terjadi di semua komponen penerimaan negara, yaitu Penerimaan Pajak, Kepabeanan dan Cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Realisasi penerimaan Pajak periode Januari-Februari 2018 tercatat sebesar Rp153,4 triliun (10,77 persen dari APBN 2018), tumbuh 13,48 persen secara year-on-year (atau tumbuh 14,81 persen jika tidak memperhitungkan penerimaan uang tebusan Tax Amnesty tahun 2017).

Kondisi tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan penerimaan pajak periode yang sama tahun 2017 yang sebesar 8,60 persen (atau 7,33 persen tanpa Tax Amnesty).

Baca Juga: Penerimaan Pajak Nasional per Februari 2018 Capai Rp153,4 triliun

Peningkatan yang sangat signifikan dari pertumbuhan penerimaan pajak tersebut menunjukkan terjadinya percepatan momentum kegiatan ekonomi yang sangat nyata.

Pertumbuhan positif tersebut disumbangkan oleh pertumbuhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas yang tumbuh masing-masing sebesar 18,02 persen dan 12,27 persen. Tren positif ini melanjutkan pertumbuhan positif yang berhasil dicapai pada bulan Januari 2018.

Untuk periode Januari-Februari, kinerja pertumbuhan penerimaan pajak ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015, sehingga menciptakan rekor baru pertumbuhan tertinggi selama empat tahun terakhir.

Pertumbuhan Penerimaan Pajak yang positif tersebut ditopang oleh hampir seluruh jenis pajak utama yang tumbuh double-digit, yaitu PPN Impor tumbuh 24,50 persen; PPh Pasal 21 tumbuh 17,15 persen; PPN Dalam Negeri tumbuh 16,15 persen; PPh Final tumbuh 12,64 persen; PPh Orang Pribadi tumbuh 10,58 persen; dan PPh Badan tumbuh 7,74 persen. Hal ini memberikan sinyal positif adanya perbaikan aktivitas ekonomi dari perspektif Penerimaan Pajak.

Kinerja positif Penerimaan Pajak juga tercermin dari penerimaan sektor usaha utama seperti perdagangan dan industri pengolahan yang tumbuh signifikan, masing-masing sebesar 33,56 persen dan 13,25 persen.

Baca Juga: April 2018, Ditjen Pajak Tak Layani SPT Manual, Harus e-Filing

Kinerja positif kedua sektor utama ini tidak lepas dari masih tingginya aktivitas impor di awal tahun 2018, sejalan dengan data pertumbuhan nilai impor di bulan Januari 2018 yang mencapai 26,44 persen.

Di sisi lain, pertumbuhan devisa impor tercapai sebesar 26,36 persen yang didominasi peningkatan devisa impor kelompok komoditas bahan baku/barang penolong serta barang modal yang tumbuh positif 28,45 persen dan 25,53 persen kemudian diikuti barang konsumsi sebesar 19,10 persen. Capaian ini mengindikasikan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh dengan baik, dari sisi produksi maupun konsumsi.

Kinerja positif penerimaan PPN Dalam Negeri pada awal 2018 juga didukung oleh adanya kombinasi antara pertumbuhan nilai penerimaan dan jumlah pembayar pajak. Penerimaan PPN Dalam Negeri yang sifatnya sukarela (voluntary payment) pada periode Januari-Februari 2018 tumbuh 10 persen atau lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2017 yang tumbuh 8,8 persen.

Jumlah Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPN Dalam Negeri (masa) juga mengalami peningkatan sebesar 7,4 persen.

Peningkatan kegiatan perdagangan internasional juga tercermin pada Penerimaan Kepabeanan dan Cukai. Membaiknya perekonomian global dan kenaikan harga komoditas mendorong kenaikan penerimaan Kepabeanan dan Cukai, yang hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp7,4 triliun (3,8 persen dari APBN 2018) atau tumbuh 16,51 persen, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2017 yang tumbuh minus 21,8 persen.

Dari sisi Bea Masuk, realisasi bulan Februari 2018 sebesar Rp530,06 miliar masih menjadi yang tertinggi diantara penerimaan lain, bukan hanya pertumbuhan yoy tahun ini saja, bahkan terhadap pertumbuhan yoy pada Februari 2017.

Pemerintah telah menyinergikan kinerja Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, antara lain melalui penggabungan Nomor Induk Kepabeanan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi Single ID; secondment antar-pejabat untuk memperkuat integrasi serta harmonisasi; dan sinergi di Pusat Logistik Berikat (PLB) dalam menyediakan fasilitas kepada seluruh instansi Pemerintah terkait. Sinergi tersebut difokuskan untuk kemudahan prosedural dan insentif fiskal agar tercapai peningkatan tax base terhadap importir barang berisiko tinggi.

Dampak kenaikan harga minyak dunia dirasakan melalui pajak minyak dan gas (PPh Migas) serta PNBP Sumber Daya Alam (SDA) Migas. Hingga akhir Februari 2018, PPh Migas mencapai Rp7,8 triliun atau sebesar 20,45 persen dari target APBN 2018.

Sementara, PNBP SDA Migas mencapai Rp16,19 triliun atau 20,15 persen dari target APBN 2018. Realisasi PNBP tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 60,69 persen jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Selain itu, realisasi penerimaan Bagian Laba BUMN sebesar Rp50 juta mengalami pertumbuhan sebesar 150,1 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2017.

Kenaikan harga minyak dunia yang mengakibatkan rata-rata harga Indonesian Crude Price (ICP) lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam asumsi APBN berimplikasi pada potensi peningkatan belanja subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik. Selama ini, Pemerintah masih mensubsidi solar, Elpiji 3 kg, dan listrik untuk golongan pelanggan kurang mampu. 

Pemerintah memahami bahwa ketika semua dampak kenaikan harga minyak dunia dikonversikan ke kenaikan harga BBM dan listrik domestik, hal ini berpotensi meningkatkan inflasi yang dapat berakibat pada pelemahan konsumsi, kenaikan suku bunga, dan pelemahan nilai tukar, yang pada akhirnya akan memperlemah investasi dan pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan angka kemiskinan.

Oleh karena itu, Pemerintah menetapkan kombinasi kebijakan yang tepat antara beban yang ditanggung Pemerintah melalui peningkatan belanja subsidi BBM dan listrik, beban yang ditanggung oleh BUMN (PT Pertamina dan PT PLN), dan beban yang akan ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk pembelian BBM nonsubsidi.

Pemerintah akan terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan tren penurunan angka kemiskinan agar tidak terganggu oleh kenaikan harga minyak dunia.

Sementara itu, komitmen belanja APBN tercermin pada realisasi belanja Februari 2018. Sampai dengan akhir Februari 2018, realisasi Belanja Pemerintah Pusat tumbuh 24,1 persen atau mencapai Rp127,6 triliun (8,8 persen dari APBN 2018), yang terdiri atas Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp55,2 triliun (6,5 persen dari pagu APBN 2018) dan Belanja Non K/L sebesar Rp72,4 triliun (11,9 persen dari pagu APBN 2018). Realisasi ini lebih tinggi dari realisasi pada periode yang sama tahun 2017, baik secara persentase maupun nominal.

Belanja Bantuan Sosial juga meningkat siginifikan hingga mencapai 18 persen dari pagunya, disebabkan percepatan penyaluran Program Keluarga Harapan dan pencairan Penerima Bantuan Iuran 3 bulan di muka. Pekerjaan fisik untuk pembangunan infrastruktur yang terkait belanja modal juga terus dipacu.

Hingga Februari 2018, sekitar Rp61 triliun belanja modal telah dikontrakkan, dari pagu sebesar Rp203,9 triliun. Disamping itu, untuk realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sampai dengan akhir Februari 2018 telah mencapai Rp121,5 triliun atau setara dengan 15,9 persen dari alokasi TKDD dalam APBN.

Pemerintah terus berkomitmen untuk meningkatkan belanja yang sifatnya produktif dan merupakan investasi bagi generasi masa depan. Belanja produktif seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial itu tidak dapat ditunda pelaksanaannya untuk menghindari kerugian dan biaya recovery yang lebih besar lagi yang harus ditanggung generasi mendatang.

Untuk mendukung belanja produktif tersebut, hingga akhir bulan Februari 2018 Pemerintah telah berhasil menutup defisit yang diamanatkan melalui pembiayaan utang sebesar Rp56,5 triliun yang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp48,20 triliun dan pengadaaan Pinjaman neto sebesar Rp8,33 triliun.

Pembiayaan utang tersebut berhasil diperoleh dengan biaya yang semakin rendah, seiring dengan membaiknya fundamental perekonomian dan peringkat kredit Indonesia yang baru saja juga mendapat kenaikan oleh lembaga Rating and Investment Information, Inc. (R&I). Hal ini juga membawa dampak langsung pada meningkatnya minat dan kepercayaan investor terhadap instrumen keuangan Indonesia.

Pada akhir Februari 2018, Pemerintah berhasil menerbitkan Green Global Sukuk sebesar USD1,25 miliar untuk membiayai proyek yang bersifat pelestarian lingkungan hidup. Penerbitan Green Global Sukuk yang merupakan pertama di dunia oleh sebuah negara ini merupakan bagian dari penerbitan Global Sukuk yang berhasil membukukan oversubscription hingga 2,4 kali dari yang diterbitkan. Hal ini semakin menegaskan komitmen Pemerintah dalam pengembangan pasar keuangan syariah tidak hanya di level domestik, tetapi juga di pasar keuangan global.

Dalam upaya untuk mendukung pembiayaan APBN tersebut, Pemerintah melakukannya secara terukur, mengutamakan efisiensi biaya, dan selaras dengan upaya pengembangan pasar keuangan. Hingga akhir Februari 2018, posisi utang Pemerintah masih terjaga pada level 29,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masih di bawah batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60 persen.

Kedepan, Pemerintah akan terus mengoptimalkan penerimaan pajak, realisasi belanja, serta pembiayaan defisit yang sehat untuk tetap mendukung pertumbuhan ekonomi yang optimal. Pemerintah mewaspadai beberapa potensi risiko, seperti kenaikan harga minyak mentah dunia dan kenaikan Fed Fund Rate yang berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta dampaknya terhadap masyarakat.

Oleh karena itu, Pemerintah akan terus memantau perkembangan dan menyiapkan mitigasi risiko untuk memastikan dampak negatif yang minimal bagi perekonomian. Pemerintah juga tetap memiliki komitmen kuat untuk menjaga disiplin anggaran dan tingkat defisit APBN agar tidak melampaui target UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang APBN Tahun Anggaran 2018,  yaitu sebesar 2,19 persen dari PDB.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI