Kebijakan Trump Soal Tarif Baja & Aluminium Guncang Ekonomi Dunia

Adhitya Himawan Suara.Com
Minggu, 11 Maret 2018 | 14:00 WIB
Kebijakan Trump Soal Tarif Baja & Aluminium Guncang Ekonomi Dunia
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. [AFP/Manden Ngan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menaikkan tarif baja dan alumunium yang masuk ke dalam negaranya, masing-masing sebesar 25 persen dan 10 persen, mengguncang dunia perekonomian global.

Presiden Trump, yang saat ini banyak diterpa berbagai masalah domestik, seperti terkait kasus kolusi Rusia dalam Pemilu AS dan dugaan perselingkuhan dengan bintang film porno, menyatakan kebijakan menaikkan tarif itu merupakan upaya untuk melindungi industri dalam negeri Amerika.

Trump yang dikenal berasal dari keluarga konglomerat properti itu sepertinya lupa, bahwa baja dan alumunium impor banyak digunakan oleh beragam manufaktur AS.

Bila tarif dikenakan tinggi, maka berbagai bidang usaha yang banyak menggunakan baja dan alumunium akan berpotensi menaikkan harga produk mereka.

Akibatnya, kenaikan harga dapat berujung kepada meroketnya inflasi di tengah-tengah masyarakat AS yang kondisi ekonominya masih belum sepenuhnya pulih.

Wajar bila reaksi negatif datang dari berbagai ujung dunia, bahkan Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita juga mengingatkan agar Amerika Serikat dapat melakukan perdagangan secara bebas dan adil, serta jangan melakukan hal yang berpotensi memicu perang dagang di tingkat internasional.

Perang dagang global dapat terjadi bila berbagai negara melakukan tindakan balasan dengan menaikkan tarif impor dari Amerika Serikat. Bila hal ini merajalela, maka harga beragam produk konsumsi bisa meningkat, yang akibatnya menggerus daya beli dan melemahkan ekonomi global.

Meski demikian, dapat diakui pula bahwa efek kebijakan kenaikan tarif AS itu relatif tidak berdampak besar kepada Indonesia karena berdasarkan data dari BPS, tercatat ekspor besi baja ke Amerika Serikat pada 2016 sebesar 43,7 juta dolar AS, atau di bawah dua persen dari total kebutuhan negara tersebut. Sementara ekspor alumunium Indonesia hanya sebesar 116 ribu dolar AS.

Untuk itu, pemerintahan Republik Indonesia selain fokus dalam melakukan pemerataan untuk mewujudkan ekonomi yang berkeadilan, seperti telah dicanangkan pemerintah, juga harus fokus untuk pertumbuhan berkelanjutan.

Ketua Departemen Keuangan dan Perbankan DPP PKS Ecky Awal Mucharam menyatakan, jika pertumbuhan ekonomi tetap rendah, maka tidak mungkin untuk menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang lebih cepat.

Ecky mengingatkan beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi memiliki tendensi melambat, karena perlambatan konsumsi rumah tangga akibat penurunan daya beli.

Untuk itu, ujar dia, akan sulit mencapai target pertumbuhan tinggi, jika pemerintah seringkali mengeluarkan kebijakan yang menahan rakyat untuk meningkatkan konsumsi mereka, seperti kebijakan untuk menaikkan BBM.

Apalagi, lanjutnya, konsumsi rumah tangga Indonesia itu, sebagian besar golongan menengah ke bawah, yang bagi mereka bila terjadi tekanan harga seperti kenaikan harga BBM mengakibatkan dapat tergerusnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Ia mengemukakan, beberapa laporan BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga rata-rata di bawah 5 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi, padahal, peranannya mencapai 55 persen terhadap Produksi Domestik Bruto (PDB).

Pertumbuhan Kredit Sedangkan di sektor finansial, Bank Indonesia melalui surveinya memperkirakan penyaluran kredit perbankan akan bertumbuh lebih baik pada kuartal I-2018 dibanding periode yang sama 2017 karena penurunan suku bunga kredit dan mulai meredanya risiko penyaluran pembiayaan.

Berdasarkan Survei Perbankan Kuartal IV 2017 yang dilansir BI di Jakarta, Selasa (16/1), indikator Saldo Bersih Tertimbang (SBT) untuk permintaan kredit baru sebesar 92,8 persen, atau jauh lebih tinggi dibanding SBT kuartal I 2017 yang sebesar 52,9 persen.

Survei perbankan secara triwulanan dilakukan terhadap responden 40 bank umum dengan pangsa kredit sekitar 80 persen dari pasar kredit nasional.

Kajian BI menyatakan, menguatnya pertumbuhan ekonomi, rencana penurunan suku bunga krkedit dan turunnya risiko kredit menjadi faktor utama pendorong optimisme pertumbuhan kredit.

Masih terkait kredit, Research Analyst FXTM Lukman Otunuga menyatakan, investor saat ini sedang menyoroti data pertumbuhan kredit karena bila meningkat maka hal tersebut mengindikasikan bahwa adanya akselerasi perekonomian nasional.

Lukman berpendapat bahwa peningkatan pertumbuhan kredit dapat menjadi indikasi bahwa perekonomian Indonesia mungkin mengalami akselerasi dengan laju yang lebih cepat di tahun 2018.

Senada dengan hal itu, sejumlah pihak memang memprediksi bahwa tahun 2018 memberikan harapan yang positif bagi kinerja Bursa Efek Indonesia (BEI), yang terindikasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas pertumbuhan ekonomi global.

Meski 2018 dinilai menjadi tahun politik, tetapi pengaruh kondisi politik terhadap pasar modal Indonesia dinilai telah cukup kebal dan teruji dalam menghadapi kondisi ekonomi pada tahun 2004, 2009, dan 2014 lalu.

Selain itu, ada pula faktor pertumbuhan positif pasar modal Indonesia. Pada 2012-2017 tingkat IHSG tumbuh sebesar 7,1 persen per tahun.

Sejalan dengan pertumbuhan IHSG, aktivitas transaksi pada 2012-2017 pun tumbuh dari Rp4 triliun ke Rp7,5 triliun.

Kemudian, pertumbuhan investor domestik dalam dua tahun terakhir dari yang sebelumnya sekitar 400 ribu investor, menjadi sekitar 600 ribu investor.

Faktor Penting Sementara di berbagai bidang ekonomi riil, pelaku usaha telah mewanti-wanti pemerintah untuk menjaga terus pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Seperti Head of Advisory Jones Lang LaSalle (konsultan properti internasional) Vivin Harsanto yang mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu faktor yang amat mempengaruhi bisnis properti.

Menurut dia, hal ini dapat terlihat erat kaitannya terhadap tingkat permintaan pasar perkantoran, seperti di kawasan DKI Jakarta dan sekitarnya.

Ia mengutarakan harapannya agar pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen pada tahun ini dapat terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.

Dengan didukung pembangunan infrastruktur dan perbaikan peringkat kemudahan berinvestasi, lanjutnya, maka pengembang bisnis properti juga diharapkan dapat memanfaatkan dan mencermati hal itu sebagai peluang dan membaca permintaan pasar.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam sejumlah kesempatan telah mengingatkan pentingnya peran pemerintah daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan menyederhanakan proses perizinan agar bisa mendorong kegiatan investasi dan ekspor.

Menurut Presiden di Bandung, Kamis (22/2/2018), penyederhanaan perizinan inilah yang akan mempercepat dunia usaha untuk bergerak, berekspansi, serta berinvestasi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan Indonesia akan terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang telah terjalin baik dengan mempertahankan stabilitas kinerja dari APBN.

Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (7/2) mengatakan salah satu upaya untuk mempertahankan stabilitas kinerja APBN adalah menjaga defisit anggaran dalam tingkat yang terkendali serta berada dalam batas yang diperkenankan oleh Undang-Undang yaitu tiga persen terhadap PDB.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina Saputri menyatakan, potensi investasi di Indonesia jangan dipandang sebelah mata karena hal tersebut dapat menambah PDB yang pada gilirannya bakal melesatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurut Novani, pentingnya sektor investasi di Indonesia perlu dibarengi dengan adanya peraturan pemerintah yang mendukung dan mempermudah pelaku bisnis dalam menjalankan bisnis mereka di dalam negeri.

Dengan memberikan kemudahan berinvestasi tersebut, lanjutnya, diharapkan akan meningkatkan iklim investasi lebih baik sehingga mampu merangsang usaha baru yang dapat berkembang di Indonesia.

Apalagi, Indonesia saat ini berada di peringkat ke-72 dalam "Ease of Doing Business (EODB) Index" yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada 2017 lalu. Posisi sebelumnya adalah di peringkat ke-91. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI