Suara.com - Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah memperkirakan penguatan dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang di dunia, termasuk Indonesia, akan naik turun (volatile) sepanjang tahun ini.
Menurut Halim, kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh Presiden Amerka Serikat Donald Trump sukar ditebak karena tidak konsisten direalisasikan.
"Akan 'volatile' saya rasa. Masalahnya kita tidak bisa prediksi juga, Trump ini kadang-kadang apa yang diucapkan belum tentu bisa dilaksanakan," ujar Halim di Jakarta, Jumat (9/3/2018).
Sebelumnya, Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell menyatakan AS perlu lebih agresif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mengirim sinyal ke pasar di seluruh dunia sehingga dolar mengalami penguatan dan potensi keluarnya arus modal (capital outflow) dari negara berkembang kembali ke AS semakin besar.
Selain itu, Trump sendiri berencana menetapkan tarif bea masuk impor terhadap produk baja 25 persen dan alumunium 10 persen. Hal itu juga berpotensi menciptakan terjadinya perang dagang (trade war) apabila pemerintah AS jadi menerapkan kebijakan tersebut.
"Kita tahu gejolak sekarang ini terjadi karena tidak hanya pernyataan dari The Fed tapi juga pernyataan dari Presiden AS sendiri. Ini adalah dua faktor yang kadang-kadang kita tidak bisa prediksi dengan baik," ujar Halim.
Kendati demikian, lanjut Halim, volatilitas nilai tukar merupakan hal yang biasa dihadapi oleh dunia usaha, terutama sektor keuangan. Khususnya perbankan, umumnya mereka telah memiliki manajemen risiko untuk mengantisipasi dampak dari gejolak ekonomi global terhadap perkembangan bisnisnya.
"Di perbankan, itu bagian dari manajemen risiko dia. Jadi dia tidak akan ada masalah karena dia ada penerimaan dari sisi dolar dan dari sisi non dolar. Dan saya rasa mereka netral. Tergantung mereka bisa punya posisi, kalau mereka percaya rupiah akan melemah mereka lebih banyak pegang dolar. Begitu juga sebaliknya," ujar Halim.
Sementara itu, dari sisi dunia usaha, dampak penguatan dolar AS terhadap rupiah sendiri akan dirasakan oleh eksportir dan importir yang dalam transaksinya dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar.
" Eksportir tentu senang kalau rupiah melemah karena ia akan dapat rupiah lebih banyak, tapi bagi importir akan lebih mahal. Oleh karena itu, ada ketentuan harus 'hedging' duluan supaya pengaruh dari volatilitas dari rupiah tidak besar," kata Halim.