Suara.com - Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, menuturkan bahwa saat ini banyak Badan Usaha Milik Negara dalam posisi kinerja yang tidak baik dan beberapa mengalami kerugian menuju bangkrut. Keadaan keuangan dan posisi BUMN saat ini seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah untuk membenahi manajemen dengan cara efektif dan efisien.
"Terlebih status BUMN tidaklah persis sama dengan Perseroan swasta yang dominan dikendalikan para pemilik modal sebagai pemegang saham (shareholders)," kata Defiyan saat dihubungi oleh Suara.com di Jakarta, Senin (19/2/2018).
BUMN di Indonesia bagaimanapun juga tak bisa dilepaskan dari faktor penting sejarah perjuangan merebut kemerdekaan dan melawan kolonialisme, imperialisme serta secara ekonomi adalah liberalisme dan kapitalisme-komunisme. Oleh karena itu, BUMN punya peran khusus yang memperoleh penugasan dari pemerintah untuk menjalankan kebijakan tertentu, bahkan di luar bisnis intinya dan menanggung beban operasi yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian kebijakan politik pemerintahan yang harus dijalankan.
Ia mencontohkan kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia ini yang merupakan upaya Presiden Joko Widodo dalam memberikan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang berada di wilayah terpencil, terluar dan tertinggal. Kebijakan ini berbuah penugasan bagi BUMN PT. Pertamina untuk jenis Premium dan bersubsidi untuk jenis minyak tanah dan solar di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Perpres 191 Tahun 2014.
"Namun, selama setahun pelaksanaan kebijakan BBM Satu Harga ini Pemerintah juga patut melakukan evaluasi atas kebijakan ini, supaya BUMN yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak ini dapat terus mempertahankan eksistensi organisasinya melalui tim manajemen yang profesional untuk memberikan kontribusi bagi penerimaan negara," ujarnya.
Dari perjalanan setahun kebijakan BBM satu harga ini, maka hasil kinerja Triwulan III (rentang bulan Juli-September 2017) yang dicapai oleh Pertamina, yaitu laba yang berhasil dibukukan Pertamina mengalami penurunan sebesar 27 persen atau menjadi Rp26,8 triliun atau 1,99 miliar dolar AS dengan patokan kurs dollar USA Rp 13.500 dibanding periode yang sama pada Tahun 2016 yang sebesar Rp38, 2 triliun.
Walaupun perolehan laba Pertamina pada triwulan I (Januari-Maret) 2017 mengalami penurunan sebesar 25 persen, yaitu 760 juta dolar AS atau sejumlah Rp9,88 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 1,01 miliar dolar AS atau Rp13,13 triliun.
Data ini menunjukkan bahwa, pada masa Triwulan I ke Triwulan III terdapat selisih, yaitu kenaikan penurunan laba sebesar 2 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara itu, lebih dari 3 (tiga) bulan sejak kenaikan harga minyak mentah dunia, Pertamina pun tidak diizinkan menyesuaikan harga BBM (ketentuan UU APBN) yang dipasarkan ke konsumen.
Jika hanya mengacu pada faktor harga, maka kenaikan harga minyak mentah dunia seharusnya berpengaruh pada harga jual eceran BBM dan tanpa ada kenaikan harga jual eceran BBM, maka bisa jadi faktor kenaikan harga ini yang paling signifikan mempengaruhi penurunan laba Pertamina. "Oleh karena itu, komitmen untuk menjaga pertumbuhan laba BUMN tetap perlu diperhatikan oleh Pemerintah sebagai bentuk penguasaan negara atas sektor strategis ini dan bukan oleh swasta," ujarnya.
Tanpa adanya penyesuaian harga BBM yang diperjualbelikan oleh Pertamina dan tidak adanya imbal balik (trade off) bagi Pertamina, maka beban biaya Pertamina akan semakin meningkat dalam melayani BBM penugasan di wilayah-wilayah terpencil, terluar dan terjauh tersebut. "Untuk Tahun 2017 saja, Pertamina telah berhasil melakukan kebijakan penugasan ini dengan baik di 54 titik wilayah yang menjadi sasaran dan mengeluarkan biaya sebesar Rp800 miliar," tutupnya.