Suara.com - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk yang ketiga kalinya kembali melakukan perombakan jajaran Direksi BUMN PT. (Persero) Pertamina melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang berada ditangan penuh Menteri BUMN Rini Soemarno. Keputusan perombakan jajaran Direksi ini tertuang dalam Surat Keputusan Nomor: SK-39/MBU/02/2018 tentang Pemberhentian,Perubahan Nomenklatur Jabatan, dan Pengalihan Tugas Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina tertanggal 9 Februari 2019 dan memutuskan perubahan nomenklatur, memberhentikan dan mengangkat anggota Direksi PT. (Persero) Pertamina.
"Keputusan RUPS ini jelas mengundang polemik, baik secara internal maupun eksternal dari salah satu BUMN strategis yang dibanggakan masyarakat Indonesia ini disebabkan pengambilan keputusan yang mendadak," kata Ekonomi Konstitusi, Defiyan Cori saat dihubungi Suara.com, Senin (19/2/2018).
Sebab, baru saja di awal Tahun 2018 ini Pertamina telah melakukan pengambilalihan status kepemilikan Blok Mahakam yang merupakan sebuah lompatan yang strategis dalam menutupi kekurangan konsumsi BBM dalam negeri.
Namun, tak dapat dipungkiri keputusan RUPS ini mengundang tanda tanya besar tentang permasalahan apakah sebenarnya yang melatarbelakangi keputusan mendadak perubahan nomenklatur dan jajaran Direksi Pertamina ini? Tercatat, Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah melakukan perombakan dan mutasi jajaran Direksi Pertamina ini sebanyak 3 (tiga) kali dalam Tahun 2017, dengan adanya keputusan baru di Tahun 2018 ini, maka jumlahnya menjadi 4 (empat) kali.
Dengan 11 jajaran Direksi yang saat ini dimiliki oleh Pertamina, maka disangsikan organisasi dan manajemen dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam melakukan berbagai upaya korporasi. Jelas sekali perintah efisiensi yang diarahkan pada BUMN justru dilanggar oleh Kementerian BUMN yang membuat struktur organisasi dan manajemen menjadi "gemuk" dan tentu menambah biaya tetap yang tidak kecil.
"Seperti gaji dan fasilitas direksi baru. Bandingkan saja dengan perusahaan minyak dan gas negara lain, misalnya Petronas yang hanya memiliki 8 anggota Direksinya dan perusahaan ini justru tumbuh dengan cepat serta profesional dibanding Pertamina, justru dulunya "belajar" sama Pertamina," jelasnya.
Apabila kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) soal kewenangan perombakan Direksi BUMN yang terdapat dalam pasal 14 ayat 1 memang diskresi Menteri BUMN pada Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara sangat besar. Pasal ini menyatakan, bahwa Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, yang berarti kewenangan mutlak berada pada Menteri BUMN. Inilah pasal yang membuat posisi Menteri BUMN sangat kuat dalam menentukan penempatan dan perombakan Manajemen di berbagai Perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik Negera.
Tidak itu saja, bahkan di ayat 2 (dua) disebutkan bahwa Menteri dapat memberikan kuasa denga hak susbtitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS. Dengan mengacu pada pasal UU ini saja, maka apa yang terjadi saat ini menjadi wajar walaupun hal ini tidak benar, sebab jajaran BUMN menjadi seolah-olah merupakan kabinet tersendiri dengan kewenangan mutlak RUPS di tangan Menteri BUMN. Tidak hanya itu, kewenangan itu bisa disubtitusikan kepada pihak lain yang bahkan bisa saja bukan dari lingkungan formal di Kementerian BUMN.
"Jelas sudah akar permasalahan yang terjadi dalam proses berulang kalinya beberapa BUMN dan khususnya Direksi PT. (Persero) dibongkar pasang dengan kewenangan luas yang dimiliki oleh Menteri BUMN, bahkan kuasa subtitusinya untuk merombak jajaran direksi BUMN. Bisa saja faktor suka dan tidak suka (like and dislike) lebih dominan dalam pengambilan keputusan pada RUPS, sebab RUPS itu sendiri adalah subyek dari Menteri BUMN," tuturnya.
Defiyan menegaskan bahwa proses dan mekanisme RUPS di BUMN yang mengacu pada UU No. 19 Tahun 2003 ini tidak aspiratif dan demokratis. Hak karyawan BUMN sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari entitas organisasi dan manajemen Pertamina akan diabaikan dengan model RUPS seperti ini, bahkan mungkin juga Presiden dan DPR. Atau bisa saja Menteri BUMN sebagai pembantu Presiden hanya mematuhi dan tunduk atas kepentingan politik kelompok yang mendukungnya, baik yang formal di DPR maupun non formal sebagai relawan tanpa memperhatikan kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan atas keberlangsungan operasi BUMN untuk kepentingan bangsa dan negara, yaitu penerimaan negara dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.