Suara.com - Apabila pemerintah Indonesia mengabaikan peran Badan Usaha Milik Negara yang strategis seperti PT Pertamina, PT Perusahaan Listrik Negara, PT Garuda Indonesia dan menyerahkan semuanya ke proses pasar yang kapitalis dan liberalis, maka bangsa Indonesia hanya akan mengandalkan penerimaan negara dari pajak. Jumlah itu tak akan signifikan dalam membantu keuangan negara.
"Untuk itulah proses holding BUMN ini diarahkan untuk mempertegas komitmen untuk menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 dengan merevisi UU nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Selain itu pemerintah perlu segera membenahi sektor hulu migas ini agar kemampuan produksi Pertamina, PLN, Garuda Indonesia dan BUMN sektor yang lainnya," kata Ekonom Konsitusi, Defiyan Cori saat dihubungi Suara.com, Rabu (7/2/2018).
Menurutnya, upaya ini harus segera dilakukan agar semakin baik dalam memenuhi kebutuhan konsumsi minyak dan listrik di dalam negeri. Sebagaimana data yang dipublikasikan SKK Migas, produksi minyak pada kuartal I Tahun 2017 mencapai 815,6 ribu barrel per hari, dan hasil ini melampaui target dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang hanya sebesar 815 ribu barrel per hari atau sebesar 600 barrel. Ada kenaikan produksi sebesar 0,07 persen.
Walaupun demikian, jumlah produksi migas yang melampaui target ini belum mampu untuk memenuhi jumlah konsumsi minyak dalam negeri yang mencapai 1,6 juta barrel per hari. Artinya, masih ada kekurangan pasokan dari produksi minyak nasional untuk memenuhi konsumsi masyarakat di dalam negeri dengan jumlah yang sama dengan produksi yang saat ini bisa dicapai atau kekurangan yang harus diimpor sebesar 800 ribu barrel per hari.
Baca Juga: Akuisisi Blok Mahakam, Pertamina Diharapkan Jadi Terbesar di Asia
Mengandalkan kekurangan konsumsi dalam negeri pada impor tentu saja akan banyak menghadapi tantangan dan permasalahan global. Terutama sekali soal harga keekonomian dunia dan posisi tawar Indonesia saat ini yang tidak lagi menjadi negara produsen minyak.
Oleh karena itu, pengelolaan Blok Mahakam dan konsolidasi sektor hulu energi mutlak dikerjakan oleh Pertamina. Perubahan komposisi saham (share dowm) dari 30 menjadi 39 persen jelas merupakan sikap dan tindakan yang tidak berpihak pada Ekonomi Konstitusi. "Jika langkah ini dilakukan, sangat diragukan rasa nasionalisme para pihak yang berencana melakukannya, terutama Kementerian ESDM," jelasnya.
Ia mengingatkan Presiden Joko Widodo harus secara tegas memposisikan diri dalam persoalan ini. Sebab jangan sampai justru menjadi subyek yang tidak berperan dalam memutuskan komposisi saham di Blok Mahakam yang misinya sejalan dengan Trisakti dan Nawacita dalam mencapai kemandirian energi nasional.
Sebagaimana diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan PT Pertamina (persero) harus menguasai minimal 51 persen atau menguasai mayoritas saham di Blok Mahakam, Kalimantan Timur.
Sesuai dengan aturan, sebanyak 10 persen dari participating interest (PI) atau bagian kepemilikan saham harus diserahkan kepada daerah. Jika 10 persen dimiliki daerah dan Pertamina wajib memiliki 51 persen, akan sisa 39 persen saham di Blok Mahakam.
Baca Juga: Inilah Potret Eksploitasi Blok Mahakam
Untuk persoalan 39 persen tersebut, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada PT Pertamina, apakah akan share down dengan perusahaan lain ataukah tidak. Hal itu akan disepakati secara business to business (B to B).