Suara.com - Setelah melalui proses tiga kali mediasi di bipartit dan juga mediasi tiga kali tripartit di Sudinaker Jakarta Selatan pada hari Senin (22/1/2018), maka Forum Komunikasi Karyawan Femina Group (FKK-KG) dan LBH Pers menganggap bahwa pihak perusahaan Femina Group masih belum memberikan respon positif terhadap aspirasi sebagian besar karyawan yang tergabung dalam FKK-FG.
"Dari semua tuntutan karyawan yaitu pembayaran kekurangan upah di tahun 2016 dan 2017, pembayaran BPJS Ketenagakerjaan dan tranparansi pengelolaan dana pensiun, yang berhasil disepakati hanya pembayaran kekurangan upah di tahun 2016, pelunasan pembayaran BPJS Ketenagakerjaan dan informasi pengelolaan dana pensiun," kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin.
Sedangkan untuk pembayaran kekurangan upah di tahun 2017 yang jumlahnya sekitar 300 persen gaji, pihak Manajemen Femina Group akan membayarkanya di tahun 2018 namun pihak menejemen menolak untuk memberikan waktu yang pasti kapan pembayaran tersebut dilakukan. Saat di konfirmasi kepada pihak manajemen, terkait sampai kapan pembayaran gaji terus diutang, pihak menejemen juga tidak bisa memastikan sampai kapan kondisi ini akan bisa diselesaikan.
"Perselisihan ketenagakerjaan ini terjadi karena sejak awal tahun 2016, para jurnalis mendapatkan gaji yang dicicil 50 persen (setiap tanggal 25) dan 50 persen (setiap tanggal 15) setiap bulannya," ujarnya.
Baca Juga: LBH Pers Desak Femina Group Penuhi Hak Pekerjanya
Kuasa hukum FKK-KG dari LBH Pers, Ade Wahyudin, menuturkan sekitar bulan Juni/Juli 2016, karyawan hanya mendapatkan gaji 50 persen saja, dan pembayaran cicilan sisanya baru dilakukan pertengahan tahun 2017 sebesar 25 persen, dan kemudian 12,5 persen. (Masih tersisa 12,5 persen hingga saat ini).
"Menghadapi Idul Fitri tahun 2017, perusahaan hanya membayarkan 70 persen Tunjangan Hari Raya," ujarnya.
Sejak saat itu, skema pembayaran gaji pada karyawan bisa hanya 10 persen+10 persen+20 persen atau 40 persen saja, 40 persen+30 persen atau 70 persen, atau skema persentase lain, namun tak pernah mencapai 100 persen lagi. Sampai pada gaji terkahir di bulan Desember 2017, pihak manajemen tetap menggunakan skema cicilan seperti yang di atas.
"Tentu hal ini berdampak besar pada isu domestik karyawan seperti pemenuhan kebutuhan harian, biaya sekolah anak, cicilan, dan sebagainya. Bahkan hanya karena ingin berangkat kerja, salah satu jurnalis ada yang meminjam atau menjual barang-barang di rumah demi mendapatkan ongkos untuk ke kantor," ujarnya.
Setelah proses Tripartit ini berakhir, selanjutnya LBH Pers tinggal menunggu anjuran Disnaker dan kemudian melanjutkan untuk meminta keadilan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.