Sebagai gambaran, rata-rata bank di Indonesia diperkirakan menggelontorkan dana sebesar 3,59 juta dolar Amerika Serikat untuk proses kepatuhan anti pencucian uang di tahun 2016. Sedangkan di enam negara Asia, yaitu RRT, Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand, rata-rata proses KYC memakan bagian 14 persen dari keseluruhan proses kepatuhan anti pencucian uang PJK di tahun 2016.
Yang terbaru OJK sedang membuat rancangan aturan yang mengharuskan tekfin melakukan credit scoring melalui pihak ketiga. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jerman, penggunaan pihak ketiga untuk melakukan credit scoring adalah hal yang lumrah. Nama-nama seperti FICO dan VantageScore di Amerika Serikat dan SCHUFA di Jerman sudah tidak asing di telinga banker dan pelaku peer-to-peer lending.
Namun beberapa tekfin justru menolak rancangan OJK ini dengan alasan hal ini akan memberatkan mereka dan kualitas scoring tidak dapat diandalkan. “Kita harus belajar dari negara lain yang tidak menganggap remeh KYC. Di awal tahun ini otoritas keuangan Inggris menjatuhkan sanksi pada bank raksasa Deutsche Bank senilai 163 juta pounds atas keteledoran dalam hal anti pencucian uang. Otoritas Singapura seakan tidak mau kalah, dengan memberikan sanksi terhadap banyak bank-bank global seperti Credit Suisse dan UOB karena sudah melanggar undang-undang anti pencucian uang,” sambungnya.
Malah, OJK Singapura turut memberikan sanksi tambahan yaitu pelarangan atau blacklist dari industri keuangan terhadap banyak petinggi bank yang terkait isu pencucian uang Lembaga 1MDB milik Malaysia. Secara total otoritas Singapura mengeluarkan pelarangan terhadap delapan orang terkait isu 1MDB.
Baca Juga: Inilah Isi Regulasi Baru Bank Indonesia Terkait Fintech
Santernya pemberitaan negatif di media tentu berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap integritas bank pelaku. Kerugian reputasi terlihat jelas di laporan keuangan Deutsche Bank awal tahun ini, di mana pendapatan perusahaan terjun bebas sebesar 10 persen. Manajemen menyalahkan aliran berita-berita buruk menjadi penyebab buruknya laporan keuangan tersebut. Hal ini membuktikan kerugian reputasi memiliki dampak langsung bagi operasional perusahaan.
"Negara maju seperti Inggris dan Singapura seakan ingin memberitahukan kepada semua pihak bahwa cost of non-compliance itu lebih besar dibanding cost of compliance. Jika patuh pada undang-undang, tak perlu takut pada denda bukan?," tutupnya.