Kebijakan Share Down Saham Pertamina di Blok Mahakam Dikritik

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 03 Januari 2018 | 09:42 WIB
Kebijakan Share Down Saham Pertamina di Blok Mahakam Dikritik
Wilayah kerja Blok Mahakam di Kalimantan Timur. [Antara/Akbar Nugroho]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tepat jam nol nol tanggal 1 Januari tahun 2018 di kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Direksi PT Pertamina menerima serah terima pengelolaan Blok Mahakarjasim. Penyerahan ini terjadi setelah Blok Mahakam dikelola 50 tahun oleh perusahaan Total Indonesia dari Perancis.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan bahwa  proses terminasi kontrak blok migas bukanlah hal baru. Ini merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2004 dan Permen ESDM nomor 15 tahun 2015 adalah rangkaian setelah blok Coastal Plain Pekanbaru ( CPP ) tahun 2002 dan blok Siak 2013 dari Chevron Riau serta Blok NSO dan Blok B dari Exxon Mobil Aceh tahun 2015.

"Tetapi mereka mungkin lupa bahwa melihat sikap Pertamina " zaman old " yang awalnya akan menguasai 100 persen saham di blok Mahakam dan akhirnya hanyalah merupakan angin sorga saja bagi rakyat Indonesia. Padahal Kementerian ESDM telah memberikan hak 100 persen sahamnya kepada Pertamina pada tahun 2015 , kemudian oleh Elia Masa Manik dengan mekanisme " b to b " merubah kebijakan share down saham Pertamina dari 30 persen akhirnya menjadi 39 persen. Itulah Pertamina "zaman now"," kata Yusri saat dihubungi Suara.com, Rabu (3/1/2018).

 

Baca Juga: Pengamat Bantah Harga BBM SPBU Pertamina Terlalu Mahal

Menurutnya, kebijakan "Pertamina zaman now" ini pantaslah dicurigai oleh publik. Ia menegaskan bahwa model pengelolaan energi seperti ini dalam perspektif ketahanan energi nasional tidak akan ditemukan diberbagai negara lain. Ini hanya dilakukan Pertamina zaman now.

Penilaian ini tentu didasari  bahwa Indonesia saat ini kita sudah mengalami krisis energi. Hal ini disebabkan volume impor minyak jauh lebih besar dari volume minyak yang dihasilkan oleh Pertamina ditambah minyak dan gas bagian negara di KKKS.

"Asal tahu saja Pertamina untuk memenuhi kebutuhan kilangnya sendiri lebih mudah dan murah membeli minyak mentah dari negara di timur tengah dan Afrika Barat nun jauh disana daripada membeli minyak milik bagian perusahaan asing KKKS dari hasil diperut bumi kita," jelasnya.

Banyak alasan yang bisa dikemukakan oleh Pertamina untuk membungkus seolah olah kebijakan itu sudah benar dan masuk akal. Contohnya bahwa kebijakan tersebut adalah lebih ingin membagi resiko potensi kegagalan dan butuh banyak dana segar bisa jadi karena Pemerintah sering menahan dana subsidi BBM yang sudah mencapai Rp50 triliun dengan alasan perlu verifikasi dulu seperti dikemukan oleh Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Begitu juga alasan yang selalu dikemukan oleh Pemerintah bahwa Pertamina harus bisa menjamin produksinya tidak turun dan biaya perunitnya bisa lebih efisien serta kemampuan keuangan Pertamina dalam mengambil alih 8 blok migas yang akan diterminasi.  Tentu  berbeda dengan sikap Total Indonesia inginnya tetap menguasainya sebagai operator , maupun oleh operator lain di 8 blok migas lainnya yang akan terminasi ditahun 2018 dan 2019.

Baca Juga: Pertamina: Konsumsi BBM Non-Subsidi Musim Libur Naik 10 Persen

Sudah tentu akibat beda kepentingan ini menjadi peluang bagi mafia sebagai pemburu rente, sehingga Pertamina zaman now dibawah kendali Elia Masa Manik lebih tak berani daripada Pertamina "Zaman old" yang lebih berani ambil alih Blok West Madura Offshore dari Kodeco tahun 2011 dari produksi 13.700 B0PD meningkat jadi 20.000 BOPD dan Blok Offshore North West Jawa dari British Petroleum tahun 2009 dari produksi awal 24.100 BOPD meningkat 40.000 BOPD dalam kurun 4 tahun setelah diambil oleh Pertamina zaman old.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI