Suara.com - Tak terasa, tahun 2017 sudah memasuki masa penghujung. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2014, praktis Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah memimpin Republik Indonesia lebih dari tiga tahun.
Bagaimanakah perjalanan ekonomi nasional sepanjang tiga tahun kepemimpinan Jokowi - Jusuf Kalla? Berikut catatan Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi bertajuk Catatan 3 (Tiga) Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diterima Suara.com, Selasa (26/12/2017) :
Tahun Anggaran 2017 akan segera menemui waktu pamungkasnya, namun apakah tugas pokok dan fungsi Presiden Joko Widodo memimpin pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah tuntas? Sangat layak dan waktu yang juga tepat memberikan penilaian evaluatif atas apa yang dahulu telah menjadi janji kampanye dan sejauh mana capaian realisasi dari janji tersebut.
Baca Juga: 2 Januari 2018, Jokowi Resmikan Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta
Sebagaimana kita ketahui di masa kampanye Presiden Joko Widodo selalu menyampaikan semua janji kampanyenya dengan program kerja yang disusun tersebut dengan kepercayaan diri yang tinggi akan bisa tercapai, dan mengutip pernyataannya pada saat debat calon Presiden pada Tahun 2014 bahwa anggaran untuk memenuhi janji yang termaktub dalam TRISAKTI dan NAWACITA itu sudah tersedia, tak perlu dikhawatirkan.
Presiden Joko Widodo saat itu juga memasyaratkan istilah TOL LAUT dalam rangka mengatasi berbagai kendala infrastruktur yang berakibat pada mahalnya biaya logistik di Indonesia dan berakibat pada biaya pokok produksi yang tinggi membuat kalahnya daya saing produk-produk Indonesia dibanding produk-produk negara lain. Sementara calon Presiden Prabowo Subianto yang mempunyai nomor urut 1 (satu) justru mempertanyakan ketersediaan sumber pendanaan untuk merealisasikan janji-janji kampanye yang banyak tersebut, bahkan dengan alasan banyaknya kebocoran anggaran hal itu akan sulit tercapai.
Bagaimanakah kemajuan capaian dan realisasi janji-janji kampanye tersebut tepat pada masa separuh lebih perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan masih memiliki sisa 2 (dua) tahun masa berakhirnya amanah yang diemban, walau secara praktis efektif hanya tinggal 1 (satu) tahun saja, sebab perhatian Presiden petahana (incumbent) akan terpecah konsentrasinya untuk persiapan Pemilu Legislatif dan Presiden sebagai Eksekutif pada Tahun 2019 untuk periode pemerintahan 2019-2024.
Secara umum, dari berbagai hasil kinerja pemerintahan yang telah dipublikasikan oleh berbagai lembaga survey menunjukkan bahwa responden 60 persen lebih menyatakan kepuasan atas kinerja Presiden Joko Widodo. Tentu saja hasil belum bisa mewakili keseluruhan sikap masyarakat Indonesia, namun cuma memberikan gambaran keterwakilan subyektif-kualititaf saja.
Maka itu, data ekonomi makro yang selama ini selalu dipakai dalam menilai evaluasi kinerja pembangunan pemerintahan sangat relevan digunakan sebab ini menilai hasil antara apa yang telah direncanakan (janji kampanye) dengan apa yang telah dicapai atau realisasi janji tersebut, lalu bagaimana pula halnya dengan pelaksanaan konstitusi ekonomi, apakah Trisakti (diantaranya kemandirian ekonomi) dan Nawacita itu hanya slogan belaka saat kampanye? Untuk itu kita perlu dan patut menilai hasil kinerja pemerintahan itu diantaranya adalah soal Ekonomi Makro dan Konstitusi.
Baca Juga: Lewat Twitter, Jokowi Sampaikan Selamat Natal
Ekonomi Makro
Tahun 2015 adalah masa yang obyektif dapat dinilai setahun capaian pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebab masa Tahun 2014 masih separuh lebih adalah kinerja pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Pertumbuhan Ekonomi yang dicapai pada masa setahun Presiden Joko Widodo memimpin hanya dapat dicapai sebesar 4,79 persen adalah pencapaian TERENDAH selama masa 6 tahun terakhir, sementara itu pada Tahun 2016 pertumbuhan ekonomi tercapai hanya sebesar 5,02 persen saja berdasar data Badan Pusat Statistik yang sudah dipublikasikan.
Artinya, dari tahun 2015-2016 hanya terdapat kenaikan angka relatif pertumbuhan ekonomi sebesar 0,23 persen, tidak sampai perempatan dari 1 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 sampai dengan Kuartal II hanya mencapai sebesar 5,01 persen dan punya potensi untuk angka tahunan kami perkirakan tak lebih dari sebesar 5,02 persen.
Jumlah kemiskinan pada Tahun 2015 adalah sejumlah 28,51 juta atau sebesar 11,22 persen, sedangkan pada Tahun 2016 jumlah kemiskinan mencapai 27,76 juta atau sebesar 10,7 persen.
Terdapat penurunan angka kemiskinan sebesar 0,32 persen dibandingkan dengan Tahun 2015. Artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi yang sebesar 0,23 persen menurunkan angka kemiskinan hanya sebesar 0,32 persen saja atau sejumlah 360.000 orang berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Pada Tahun 2017 sampai dengan bulan Maret 2017 jumlah kemiskinan mencapai angka 27,77 juta atau ada kenaikan sebesar 100 ribu jiwa walaupun secara relatif menurun menjadi 10,64 persen yang berarti menunjukkan terjadinya adanya kontribusi dari kenaikan jumlah penduduk.
Jumlah pengangguran dari total angkatan kerja sebesar 122,4 juta jiwa di Indonesia pada Tahun 2015 adalah sebesar 7,6 juta orang atau sebesar 6,2 persen juga angka pengangguran terburuk selama 3 tahun terakhir. Sedangkan pada Tahun 2016 total angkatan kerja menjadi 127,8 juta jiwa dan angka pengangguran adalah sejumlah 7,02 juta orang atau sebesar 5,5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dari kenaikan angka angkatan kerja yang mencapai 5,4 juta orang atau sebesar 9,5 persen, pemerintah hanya mampu mengatasi pengangguran hanya sebesar 0,7 persen saja dari tahun sebelumnya.
Pada Tahun 2017 (bulan Maret) jumlah angkatan kerja total sudah mencapai 131,55 juta sedangkan angka pengangguran mencapai 7,01 juta orang atau sebesar 5,33 persen, mengalami penurunan sejumlah 100 ribu orang tetapi dengan adanya lonjakan angkatan kerja yang besar.
Ketimpangan pendapatan masih menjadi isu utama yang samgat krusial, walau pemerataan pembangunan infrastruktur yang mengatasi isu politik dan permasalahan Pulau Jawa dan Luar Jawa diatasi. Rasio gini Indonesia, yaitu besaran relatif ketimpangan pendapatan atas Produksi Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan pada Tahun 2015 adalah sebesar 0.41 poin, maka pada Tahun 2026 turun menjadi 0,39 poin atau berkurang jarak ketimpangan sebesar 0,01 poin saja. Sedangkan pada Tahun 2017, rasio gini Indonesia tak bergeser dari angka 0,39 poin.
Posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada Tahun 2015 adalah sebesar Rp4.192 triliun berdasarkan data Bank Indonesia. Pada Tahun 2016 posisi Utang Luar Negeri Indonesia telah meningkat menjadi Rp4.347 triliun atau naik sejumlah Rp155 triliun atau sebesar 3,56 persen. Sedangkan pada Tahun 2017, posisi Utang Luar Negeri Indonesia telah menjadi Rp4.478 triliun atau naik lagi sejumlah Rp131 triliun.
Posisi Utang Luar Negeri yang setiap tahun meningkat dan kontribusi PDB yang stagnan mengindikasikan tak berjalannya roda perekonomian seperti yang diharapkan Presiden secara meroket walau telah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi.
Alokasi anggaran infrastruktur pada Tahun Anggaran 2015 adalah sebesar Rp290 triliun disebut sebagai alokasi terbesar sepanjang 10 tahun terakhir. Anggaran infrastruktur terbesar lainnya di atas Rp200 triliun teralokasi pada Tahun 2014 sejumlah Rp206,6 Trilyun. Pada Tahun 2016 alokasinya menjadi Rp313 triliun atau naik sejumlah Rp23 triliun dibanding alokasi Tahun 2015. Sementara anggaran infrastruktur Tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp 387,3 Trilyun atau naik sejumlah Rp 74,3 Trilyun, meningkat 3 (tiga) kali lipat dari Tahun 2016. Rencananya alokasi anggaran infrastruktur ini pada Tahun Anggaran 2018 pada RAPBN akan dinaikkan lagi menjadi Rp 409 Trilyun.
Kita menyayangkan alokasi anggaran yang tak masuk akal ini masih belum memberikan daya ungkit (leverage) selama 3 (tiga) tahun, tetapi tahun berikutnya juga mau ditambah lagi.
Ekonomi Konstitusi
Kita tentu perlu bertanya, kemana saja alokasi anggaran infrastruktur yang sangat besar itu mengalir sementara pertumbuhan ekonomi dan PDB tak berubah signifikan. Janji penegakkan konstitusi melalui jargon kemandirian ekonomi sampai saat ini belum terbukti. Justru pelanggaran Undang-Undang dan peraturan yang telah terjadi pada proses perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo secara umum di hampir segala bidang.
Di bidang Ekonomi yang paling populer saat ini adalah masalah reklamasi Teluk Jakarta, ditentang oleh publik pembangunannya karena tak mengindahkan pasal 33 UUD 1945 yang memerintahkan, ayat 1: Perekonomian disusun sebagai USAHA BERSAMA berdasar atas azas KEKELUARGAAN.
Ayat 2 nya menyatakan bahwa: Cabang-cabang produksi yang PENTING bagi NEGARA dan yang menguasai HAJAT HIDUP ORANG BANYAK dikuasai oleh Negara. Artinya, apakah realisasi janji Trisskti dan Nawacita itu telah diimplementasikan, seperti soal kemandirian ekonomi yang lebih penting dan bagaimanakah posisi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti para petani, nelayan, pekerja, pengusaha kecil dan menengah serta Koperasi?
Maka dari itu, Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya tidak bisa mengabaikan prinsip ayat 1 dalam pengelolaan ekonomi nasional. Sedangkan ayat 3 nya menyatakan bahwa: Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Artinya, penyerahan ekonomi nasional terutama cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada korporasi jelas sekali melanggar pasal konsitusi tersebut. Sebab, sangat tampak nyata dari berbagai data dam fakta yang tersebar secara luas, bahwa pembangunannya dan memberikan kesempatan mereka menjadi besar tak memberikan manfaat pada kesejahteraan masyarakat dan hanya untuk kesejahteraan atau kemakmuran orang per orang.
Sebagai contoh mutakhir, berdasarkan pengakuan para nelayan yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian di sekitar wilayah Teluk Jakarta yang biasanya mereka memperoleh penghasilan rata-rata per hari Rp. 500.000, maka pemerintah dengan memberikan izin pada pengembang untuk membangun Teluk Jakarta melalui reklamasi telah menghilangkan penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi masyarakat. Jika dihitung rata-rata per bulan maka setiap nelayan kehilangan penghasilan untuk menafkahi keluarganya sebesar Rp 10.000.000 sampai Rp 12.500.000. Apakah ini bukan pelanggaran konstitusi lagi dan tindakan penghilangan Hak Azasi Manusia (HAM) untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak?
Berdasarkan data dan informasi tersebut, bahwa dapat disimpulkan belum ada indikasi bekerjanya janji Trisakti dan Nawacita Presiden Jokowi terkait dengan realisasi kinerja yang yang telah dicapai, satu-satunya capaian yang bisa dicatat adalah pembangunan infrastruktur yang massif dan dengan alokasi anggaran yang sangat besar atau fantastis. Hal ini secara fisik tampak nyata oleh masyarakat dengan berbagai pembangunan jalan umum dan khusus (Tol) jembatan, bendungan dan rel kereta api.
Namun, pembangunan fisik yang megah tampilannya ini tidak diikuti oleh kinerja ekonomi dan industri sebagai penopang perekonomian nasional yang akan memberi manfaat dan dampak pada penyelesaian indikator makro ekonomi di atas. Secara sederhana dapat disampaikan bahwa pembangunan infrastruktur megah dan mentereng, tetapi ekonomi menjadi kerempeng. Secara mikro ekonomi Rumah Tangga adalah sebuah keluarga yang punya infrastruktur rumah dan peralatan yang lengkap tetapi tak satupun anggota keluarga yang bekerja atau kalaupun bekerja tak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara lengkap alias kurang gizi.
Tanpa tata kelola ekonomi yang adil antara entitas ekonomi BUMN, Koperasi dan Swasta dalam pekerjaan proyek-proyek infrastruktur, maka tak akan mungkin distribusi pendapatan akan terjadi pada masyarakat, meskipun pemerataan infrastruktur wilayah terjadi.
Dengan demikian jalannya pembangunan dan roda perekonomian bangsa dan negara selama 3 (tiga) tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak taat pada dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945 serta terlebih penting dan utama adalah tidak ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya untuk orang per orang atau sekelompok orang.
Dari capaian pembangunan infrastruktur yang sangat massif ini dan untuk memperbaiki kondisi makro ekonomi Indonesia dan global, maka sebaiknya pemerintah melakukan langkah-langkah yang lebih hati-hati dan cermat, sebagai berikut:
1. Melakukan efisiensi dan efektifitas program dan kegiatan di kementerian/lembaga/komisi dan badan-badan negara, sebaiknya setiap kementerian/lembaga/badan dan komisi negara tidak mengajukan program dan kegiatan yang tumpang tindih sementara kelompok sasaran dan tujuannya sama.
2. Menggerakkan sektor fundamental ekonomi Indonesia, terutama sektor strategis dan hajat hidup orang banyak yang selama ini.menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia, maka kebijakan pemihakan pada kelompok petani, nelayan dan pekerja harus menjadi perhatian utama
3. Memperbaiki dan mencabut segala peraturan dan per-Undang-Undangan yang merugikan kepentingan nasional Indonesia, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU tentang BUMN, UU Koperasi, UU Ketenagakerjaan, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Mineral dan Batu Bara, UU Ketenagalistrikan dan UU sektoral lainnya, serta memberikan kemudahan iklim usaha pada para pengusaha, petani, nelayan dan para pekerja yang.merupakan putera bangsa sendiri.
4. Indonesia tentu saja tidak anti asing sejauh kerjasama ekonomi, perdagangan dan industri tersebut memberikan manfaat kedua belah pihak yang bekerjasama dan terutama pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia
5. Ketergantungan terhadap utang luar negeri ini dapat diatasi apabila pemerintah bersungguh-sungguh membenahi manajemen BUMN dan memperkuat Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional yang keuntungannya akan memberikan manfaat kepada kapasitas kas negara dan manfaat untuk rakyat banyak.
Mewujudkan Tri Sakti dan Nawacita, terutama dalam soal kemandirian ekonomi harus dirumuskan melalui perencanaan dan kebijakan strategis serta tahapan yang jelas dan terarah, maka itu prioritas pembangunan wilayah dan masyarakat menjadi penting walaupun infrastruktur menjadi tantangan utama. Namun terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur (apalagi dengan mekanisme utang luar negeri) tanpa memperhatikan sektor yang lain tentu saja akan membebani negara dan masyarakat di masa depan, sebab yang produktif itu bukan bangunan fisik melainkan manusianya.