Harga sesudah pengolahan berdasar informasi di website Nasdaq pada tanggal 27 Oktober 2017 adalah $ 1.747/gallon (belum termasuk biaya terminal, transportasi,PBBKB,iuran BPH,PPN, marjin terminal, marjin investor), satu galon adalah 3.785 liter, jika asumsi 1 (satu) dollar USA adalah Rp 13.560, maka harga minyak olahan (gasoline) yaitu : US$ 1.747/3.785 liter x Rp 13.560 = Rp 6.258,74 per liter. Dengan hitungan harga gasoline ini saja, dan tanpa ada beban biaya tambahan lain pembentuk harga jual ke konsumen sesuai Perpres 191 Tahun 2014, maka harga jual SPBU VIVO sudah tak masuk akal sebesar Rp 6.100, sebab ada selisih sebesar Rp 158,74.
"Apakah mungkin perusahaan ini memperoleh harga gasoline per gallon lebih murah ataukah memperoleh potongan harga (discount) atau perlakuan istimewa dari pedagang (trader) gasoline? Dengan harga gasoline sebesar Rp 6.258,74 per liter, ditambah marjin dan biaya 20%, PPN 10%, PBBKB 5%, maka harga jual eceran premium jenis RON 88 tentu lebih besar dari Rp 6.450 atau Pertamina memberikan subsidi sebesar lebih dari Rp 200 per liter kepada rakyat konsumen
Harga dasar Pertamina sebelum ditetapkan sebagai harga jual eceran ke rakyat konsumen adalah mengacu pada harga keekonomian dunia," tuturnya.
Jadi, membahas harga BBM murah dan mahal secara terminologi adalah sangat relatif dan bisa diperdebatkan (debateable). Dalam konteks Pertamina sebagai perseroan dan BUMN, maka kehadiran dan eksistensinya tak bisa dipisahkan dari perintah dan amanat konstitusi. Jadi, keuntungan dan kerugian Pertamina sebagai BUMN adalah soal bagaimana mengelola perseroan ini tetap bertahan dalam jangka panjang," tutupnya.