Pengamat Bantah Harga BBM SPBU Pertamina Terlalu Mahal

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 26 Desember 2017 | 11:13 WIB
Pengamat Bantah Harga BBM SPBU Pertamina Terlalu Mahal
Suasana pengisian bahan bakar minyak (BMM) di SPBU kawasan Abdul Muis, Jakarta, Senin (21/8/2017). [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kebijakan Bahan Bakar Minyak Satu Harga yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia telah menjadi kebijakan politik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diberlakukan sejak 1 Januari 2017. Program BBM satu harga di seluruh Indonesia ini merupakan upaya Presiden Joko Widodo dalam memberikan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang berada di wilayah terpencil, terluar dan terjauh serta merupakan penugasan bagi BUMN PT. Pertamina untuk jenis Premium dan bersubsidi untuk jenis minyak tanah dan solar di seluruh wilayah Indonesia.

"Sementara itu, pada hari Kamis (2/11/2017) PT. Pertamina telah menggelar pertemuan dengan awak media massa untuk menyampaikan kepada publik hasil kinerja Triwulan III (rentang bulan Juli-September 2017) yang berhasil dicapai. Paling tidak, ada 3 (tiga) catatan penting yang disampaikan oleh Elia Massa Manik, (Direktur Utama PT. (Persero) Pertamina) pada pemaparan hasil kinerja yang dicapai perusahaan BUMN yang dipimpinnya tersebut," kata Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori saat dihubungi Suara.com, Selasa (26/12/2017).

Pertama adalah, soal penurunan laba perusahaan yang berhasil dicapai sampai Triwulan III. Kedua, meningkatnya beban operasi Pertamina disebabkan adanya kenaikan harga minyak mentah dunia dan tiadanya penyesuaian harga sebagai konsekuensi harga yang berubah. Ketiga adalah masuknya perusahaan baru yaitu VIVO pada bulan Oktober 2017 yang mengelola SPBU dengan menjual BBM Premium jenis RON (Research Octane Number) 89 lebih murah dibanding harja jual SPBU Pertamina.

Terhadap kehadiran VIVO ini, jajaran Pertamina tak terlalu mempermasalahkannya sejauh ini, karena SPBU yang dikelola oleh VIVO baru berjumlah 1 (satu) unit di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Tentunya, dampak persaingan harga murah yang ditawarkan SPBU VIVO kepada konsumen di wilayah Jawa, Madura dan Bali ini terhadap kinerja Pertamina akan berpengaruh beberapa bulan atau periode yang akan datang, termasuk jika VIVO juga diberikan izin untuk memasarkan Premium jenis RON 89 ini ke seluruh Indonesia dan wilayah penugasan BBM satu harga.

Baca Juga: Pertamina: Konsumsi BBM Non-Subsidi Musim Libur Naik 10 Persen

"Mengapa sejatinya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) begitu kepincut (ungkapan bahasa Jawa yang artinya tertarik sekali) dan pasang badan dengan memberikan izin dan bahkan meresmikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta dan ada kepemilikan asing juga untuk beroperasi di wilayah Jakarta? Apakah Kementerian ESDM hanya memperhitungkan faktor harga murah saja dalam mempertimbangkan pemberian izin pada perusahaan swasta yang mengelola SPBU Premium jenis RON 89 ini atau ada faktor lain?," ungkapnya.

Sebagaimana diketahui publik bahwa produk BBM berbagai jenis, baik RON 88,89,90,91 dan 92 memang sudah memasuki era persaingan pasar bebas, dan beberapa perusahaan swasta asing pun sudah lama beroperasi di wilayah Indonesia, seperti SPBU Shell dan Total. Namun, kedua SPBU yang lebih awal beroperasi ini tidak memasarkan premium jenis RON 88 dan 89, melainkan RON diatasnya atau kualitas polutannya lebih rendah.

Apabila hadirnya SPBU VIVO adalah untuk memberikan pelayanan optimum pada masyarakat konsumen dengan harga lebih murah, maka analisa yang disampaikan oleh mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas di sebuah media memperoleh pembenaran, bahwa harga premium 6.100 ini lebih murah dibanding dengan harga jual SPBU Pertamina. Hanya saja kalkulasi yang digambarkan dalam tulisan tersebut bisa menjadi keliru (misleading) dengan data dan informasi harga bahan mentah yang sebenarnya. Dengan menyampaikan bahwa harga jual SPBU Pertamina yang lebih mahal Rp 350 per liter, maka disebutkan rakyat sebagai menanggung kemahalan sebesar Rp 96,8 Milyar per hari dan jika satu tahun kemahalan yang ditanggung menjadi Rp 33,34 Trilyun.

"Apakah perhitungan ini benar, sehingga menjadi informasi yang mendiskreditkan Pertamina atas harga jual yang kemahalan selama ini bagi konsumen serta marjin besar bagi Pertamina? Kalkulasi ini tidaklah tepat dan benar dengan hanya membandingkan harga jual konsumen akhir dari premium jenis RON 88 dan 89 yang dijual oleh Pertamina dan VIVO. Seharusnya hitungan harga jual ini tidak dihitung berdasar perolehan harga dasar minyak mentah dunia yang dipakai oleh pengamat energi dari UGM tersebut yaitu US$ 50 per barel (1 barel = 159 liter) dengan kurs Rp 13.560 per dollar USA," jelasnya.

Hitungan ini sama sekali salah, sebab harga US$ 50 per 159 liter ini adalah harga minyak mentah  Crude, yaitu yang keluar dari dalam bumi dan harganya tergantung kepada banyak sedikitnya impurities. Apabila minyak ini masih banyak mengandung sulfur maka disebut sour dan harganya lebih murah. Sedang harga yang sudah ditetapkan oleh Pertamina dan VIVO adalah produk gasoline sebagai hasil pengolahan minyak mentah yang keluar dari kilang.

Baca Juga: Pertamina Terapkan BBM Satu Harga di Perbatasan dengan Malaysia

"Jadi, informasi kalkulasi adanya beban kemahalan telah ditanggung oleh rakyat konsumen yang disampaikan adalah opini sesat dan menyesatkan publik," urainya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI