Suara.com - Sepanjang tahun 2017 ada banyak peristiwa politik ekonomi, baik di tingkat global dan nasional mempengaruhi dinamika migrasi tenaga kerja dan tentu saja nasib kaum buruh migran Indonesia. Ini tentu saja memperlihatkan bahwa fenomena migrasi tenaga kerja dan peluh keringat buruh migran merupakan salah satu faktor kunci dalam gerak politik ekonomi global, tak terkecuali para buruh migran Indonesia.
"Namun demikian, walau mereka menjadi salah satu faktor kunci dalam gerak politik ekonomi global, kerentanan-kerentanan yang dihadapinya tidak serta merta mendapat perhatian serius dari negara bahkan ada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara melahirkan kerentanan-kerentanan baru yang dialami oleh buruh migran," kata Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, di Jakarta, Senin (18/12/2017).
Menurut catatan Migrant CARE, di sepanjang tahun 2017, masih terjadi berbagai kasus yang dialami oleh buruh migran Indonesia dalam berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia. Penyiksaan keji yang dialami oleh Suyantik, PRT migran Indonesia yang bekerja di Malaysia adalah kejadian yang berulang-ulang dialami oleh perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga. "Ini merupakan bentuk kekerasan berbasis gender dan jenis pekerjaan yang dianggap rendah," ujarnya.
Pada paroh pertama tahun 2017, Migrant CARE juga membongkar praktek perbudakan yang dialami oleh buruh migran perempuan Indonesia yang dipekerjakan tidak sesuai dengan kontrak oleh industri pengolahan makanan berbasis sarang burung walet, Maxim. Kasus ini juga menguak bentuk diskriminasi penegakan hukum oleh otoritas Malaysia, karena para korban perbudakan ini malah dikriminalisasi sebagai buruh migran tak berdokumen dengan memenjarakan mereka di kamp imigrasi.
Baca Juga: Hindari Calo TKI, Pemerintah Sempurnakan Program Desmigratif
Masih di Malaysia, sejak bulan Juli 2017, ratusan ribu bahkan jutaan buruh migran Indonesia juga menjadi sasaran razia otoritas Malaysia yang mengakhiri program amnesti (6P).
"Program Amnesti (6P) ini juga gagal memenuhi target melegalkan ratusan ribu buruh migran dari berbagai negara karena program ini dimanfaatkan oleh pihak ketiga (yang ditunjuk menjadi agen pengurusan dokumen) untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal dengan memungut biaya sebesar-besarnya dari buruh migran yang mengurus dokumennya," jelasnya.
Penunjukan pihak ketiga dalam pengurusan dokumen juga membuka ruang penyuapan dengan aparat pemerintah Malaysia maupun aparat pemerintah Indonesia. Ini terbukti dengan terungkapnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Atase Imigrasi KBRI Malaysia oleh pihak KPK.
Walau pemerintah Indonesia telah menetapkan penghentian pemberangkatan buruh migran ke Saudi Arabia dan negara-negara di kawasan Timur Tengah sejak 1 Juli 2015, namun berbagai pihak menemukan fakta bahwa aliran migrasi tenaga kerja ke Timur Tengah tidak berhenti.
Tahun lalu Migrant CARE merilis survey bahwa setidaknya ditemukan 3000 lebih perempuan-perempuan Indonesia tetap nekad untuk bekerja di Timur Tengah melalui berbagai modus, tidak hanya melalui jaringan perekrut tenaga kerja tetapi juga melalui mekanisme umroh dan haji. Pada bulan Januari-Februari 2017, Migrant CARE juga mendapatkan pengaduan adanya penyekapan yang dialami oleh sekitar 300 perempuan di kawasan Riyadh, Saudi Arabia. "Mereka, yang sebagian besar berasal dari Nusa Tenggara Barat, ditempatkan pada masa penghentian permanen," tuturnya.
Baca Juga: Kabur, TKI di Cina Ini Diselamatkan Pelajar Yaman
Di bulan September 2017, juga terungkap sindikat perdagangan manusia yang nekad menempatkan perempuan Indonesia untuk bekerja di kawasan konflik bersenjata Suriah.