Maka dari itu, utang luar negeri menjadi tak masalah apabila berproduksi menghasilkan nilai tambah untuk kepentingan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. Menurutnya, masalah utang yang dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini tak bisa dilepaskan dari kebiasaan berutang yang telah dilakukan pemerintahan terdahulu tetapi masih diteruskan lagi untuk kepentingan janji politik pemerintahan.
“Posisi utang saat ini termasuk yang mengkhawatirkan karena hampir mendekati jumlah Rp5.000 triliun dan kemampuan berproduksi yang rendah serta cadangan devisa yang juga rendah,” ujarnya.
Sementara pembangunan infrastruktur tidak memberikan dampak langsung pada pertumbuhan ekonomi (leverage factor). Apalagi pertumbuhan ekonomi selama ini ditopang oleh sektor konsumsi. Jadi, membangun dan menggerakkan sektor rill atau industri manufaktur yang produktif bagi kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional mendesak dijalankan. Caranya melalui kebijakan pemihakan (affirmasi) yaitu dengan para pengusaha-pengusaha baru di daerah-daerah pertumbuhan ekonomi baru.
“Bukan perusahaan-perusahaan korporasi yang selama ini menggurita,” tuturnya.
Baca Juga: Gerindra: 72 Tahun Indonesia Merdeka, Utang Luar Negeri Rp1.000 T
Apakah posisi utang saat ini positif atau negatif, tentu saja banyak indikator yang menentukan dampak utang luar negeri bagi pembangunan, namun jika didasarkan semakin besarnya defisit APBN, semakin tingginya persentase angka kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan ekonomi, sudah dapat disimpulkan bahwa kondisi utang luar negeri adalah negatif.
Pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,06 persen di Triwulan III dan defisit anggaran yang mencapai 3 persen, maka dapat dipastikan selisih 2 persen secara relatif inilah pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan secara riil. Jika tak ada evaluasi ulang atas pembangunan infrastruktur yang sangat massif dan tak masuk akal, maka jebakan utang (debt trap) akan menimpa Indonesia. Apalagi iklim dan cuaca saat ini sangat beresiko bagi hancurnya bangunan yang telah selesai dikerjakan.
“Pemerintah harus melakukan langkah-langkah antisipatif dan contigency plan untuk menghadapi kondisi ekonomi terburuk dengan strategi baru dan tim ekonomi kabinet yang baru untuk menegakkan pasal ekonomi konstitusi, yaitu memajukan BUMN dan Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional,” tutupnya.
Pandangan lebih optimis dikemukakan oleh Anggota Komisi XI DPR RI, Donny Imam Priyambodo. Menurutnya, kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi, termasuk soal utang tidak didasarkan pertimbangan jangka pendek satu atau dua tahun. “Pemerintah mendasarkan ini pada visi yang besar, pembangunan untuk jangka panjang, termasuk dalam hal infrastruktur,” jelasnya saat dihubungi, Rabu (6/12/2017).
Menurutnya, pembangunan infrastruktur memang membutuhkan biaya yang sangat besar. Efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi, paling cepat baru tiga tahun setelah infrastruktur tersebut jadi. Ia memprediksi manfaat maksimal dari pembangunan infrastruktur Indonesia saat ini baru akan terasa dalam dua tahun lagi.
Baca Juga: Kuartal II Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp4.478 triliun
Politisi asal Partai Nasdem tersebut mengakui perihal defisit anggaran hingga akhir September 2017 melebar. Bahkan, jumlahnya membengkak dibanding realisasi akhir Agustus 2017 dan akhir bulan yang sama tahun 2016.