Utang Indonesia, Masih Aman atau Sudah Lampu Merah?

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 07 Desember 2017 | 06:00 WIB
Utang Indonesia, Masih Aman atau Sudah Lampu Merah?
Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Kuartal III 2017. [Screenshot Data Bank Indonesia]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tak bisa dipungkiri bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat di era pemerintahan Joko Widodo. Namun kemampuan pembiayaan yang terbatas dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), memaksa pemerintah mencari begitu banyak sumber pembiayaan lain, termasuk dari utang.

Tak heran jika pertumbuhan utang Indonesia di era Jokowi mengalami peningkatan yang signifikan. Kondisi ini menuai kritik dari sejumlah kalangan termasuk ekonom sekaligus mantan politisi Faisal Basri.

Faisal Basri mengutarakan pandangan sekaligus kekhawatirannya terhadap kondisi negara ini lewat tulisannya di blognya faisalbasri.com. Menurutnya, Presiden Joko Widodo benar bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia sangat terlambat, sehingga tidak bisa ditunda. Bukan hanya infrastruktur, melainkan hampir dalam segala bidang, Indonesia tertinggal dibandingkan negara tetangga.

Faisal mengapresiasi Presiden Joko Widodo karena berani memangkas subsidi energi, terutama subsidi BBM, secara radikal sebesar 66,2 persen. Sehingga ratusan triliun rupiah uang rakyat dialihkan untuk tujuan yang lebih produktif. Pada tahun 2015, secara mendadak anggaran untuk infrastruktur naik tajam sebesar 123,4 persen. Anggaran untuk menguatkan sumber daya manusia juga naik tajam, masing-masing untuk kesehatan naik 83,2 persen dan untuk pendidikan naik 27,4 persen.

Baca Juga: Gerindra: 72 Tahun Indonesia Merdeka, Utang Luar Negeri Rp1.000 T

Kenaikan tajam alokasi belanja untuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan bisa naik tajam karena pemangkasan tajam subsidi energi.

Namun Faisal mengungkapkan kecemasannya soal dari mana datangnya dana untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang masif itu? Padahal penerimaan negara dari pajak seret. Pertumbuhan penerimaan pajak yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak justru menunjukkan kecenderungan menurun.

Puncaknya adalah pada Januari-September 2017 yang mengalami penurunan atau pertumbuhan negatif dibandingkan dengan kurun waktu yang sama tahun lalu. Nisbah pajak pun turun dari waktu ke waktu. Padahal nisbah pajak Indonesia masih tergolong rendah, tapi sudah kehabisan tenaga. Sektor industri yang merupakan penyumbang terbesar dalam penerimaan pajak justru mengalami penurunan pertumbuhan sehingga memperlemah basis pajak.

Menurutnya, sulit untuk mengandalkan pembiayaan dari perbankan dalam negeri. Kemampuan pendanaan dari perbankan Indonesia amat terbatas. Hendak menambah utang pemerintah dengan mengeluarkan obligasi atau Surat Utang Negara (SUN)? Undang-undang Keuangan Negara membatasi defisit maksimum hanya 3 persen.

Kekhawatiran Faisal Basri juga diamini oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi. Menurutnya, kebutuhan utang dalam pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan berproduksi suatu negara yang tentu saja akan memberikan kontribusi dan nilai tambah pada Produk Domestik Bruto (PDB). Semakin tinggi PDB maka akan semakin baik bagi pertumbuhan ekonomi jika itu dihasilkan dari sektor produksi dengan kandungan lokal yang tinggi (local contents).

Baca Juga: Kuartal II Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp4.478 triliun

“Sebaliknya jika berproduksi dengan kandungan impor yang tinggi maka nilai tambah pertumbuhan ekonomi dari PDB akan dinikmati oleh negara lain,” kata Defiyan saat dihubungi Suara.com, Rabu (6/12/2017).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI