Masalah Logistik, 'Duri Dalam Daging' Ekonomi Indonesia

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 30 November 2017 | 19:22 WIB
Masalah Logistik, 'Duri Dalam Daging' Ekonomi Indonesia
Kereta api logistik barang di kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (25/11/2016). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Daya saing menjadi faktor maha penting dalam pertumbuhan ekonomi sebuah negara, termasuk Indonesia. Terlebih di tengah era globalisasi saat ini, daya saing menjadi kunci sebuah negara untuk mampu berkompetisi dengan negara lain. 

Untuk memperkuat daya saing, penguatan logistik merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan. Kinerja logistik suatu negara dalam mendukung perdagangan, baik domestik maupun internasional sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan daya saing. Saat ini sektor logistik sudah dianggap sebagai salah satu pilar pertumbuhan ekonomi nasional.

Sayangnya, harus diakui bahwa kondisi logistik di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Pengertian logistik sendiri adalah bagian dari manajemen rantai pasok yang menangani arus barang, arus informasi dan arus uang secara aman, efektif dan efisien mulai dari titik asal sampai dengan titik tujuan melalui serangkaian proses pengadaan, penyimpanan, transportasi, distribusi dan pelayanan pengantaran sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat yang dikehendaki konsumen.

Mengacu laporan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan, Kementerian Perdagangan tentang Kinerja Logistik Indonesia 2016, sistem logistik yang efisien dan berkinerja baik merupakan faktor kunci dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian Popescu dan Sipos (2014) yang mencoba menganalisis hubungan antara kinerja logistik dengan PDB di 28 negara Uni Eropa. Penelitian tersebut dalam analisnya menggunakan dua indikator, yaitu Logistics Performance Index (LPI) tahun 2007 - 2014 dengan data PDB per kapita pada tahun yang bersangkutan.

Baca Juga: Pengamat Kritik Penataan Logistik Nasional Tak Memuaskan

Hasil analisis dengan model ekonometri menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara LPI dan PDB per kapita di negara-negara Uni Eropa. Negara-negara dengan PDB per kapita yang rendah cenderung mempunyai kinerja logistik yang rendah dan masih memerlukan perbaikan pada aspek pembentuk kinerja logistik dalam LPI.

Kinerja Logistik Indonesia

Pada tahun 2013, Bank Dunia bekerjasama dengan Pusat Kajian Logistik ITB telah melakukan kajian terkait biaya logistik di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata biaya logistik Indonesia selama tahun 2004-2011 mencapai 26,64 persen dari PDB. Dari biaya logistik tersebut, komponen biaya angkutan memberikan kontribusi terbesar (12,04 persen dari PDB), sedangkan komponen biaya administrasi memberikan kontribusi terendah (4,52 persen dari PDB) dan kontribusi biaya persediaan berada di urutan menengah (9,47 persen dari PDB). Biaya angkutan didominasi oleh angkutan darat (72,21 persen); angkutan kereta api (hanya 0,51 persen) memberikan kontribusi terendah, sedangkan biaya persediaan didominasi oleh biaya penyimpanan/holding cost (49,37 persen).

Berdasarkan hasil survei LPI 2016, skor dan peringkat LPI Indonesia kembali mengalami penurunan dibandingkan dengan penilaian pada periode sebelumnya di tahun 2014.  Walaupun penurunan skor dan peringkat LPI 2016 tidak setajam penurunan di tahun 2010, turunnya peringkat Indonesia dalam survei LPI 2016 menunjukkan logistik masih menjadi persoalan yang serius. Dari 160 negara yang disurvei, Indonesia mendapatkan peringkat ke-63 dengan skor 2,98, mengalami penurunan dibandingkan hasil survei periode sebelumnya di tahun 2014, di mana saat itu Indonesia mendapatkan peringkat ke-53 dengan skor 3,08. 

Penurunan skor LPI Indonesia terjadi pada hampir semua komponen, kecuali Pengiriman Internasional dan Pencarian Barang. Dari enam komponen skor LPI Indonesia 2016, tiga komponen (kompetensi jasa logistik, pencarian barang, dan ketepatan waktu) mempunyai skor di atas 3 dan tiga dimensi lainnya (kepabeanan, infrastruktur, dan pengiriman internasional) di bawah 3 (supplychainindonesia.com, 2016). Adapun nilai terendah terjadi pada komponen infrastruktur yang menandakan bahwa kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur merupakan salah satu penghambat efisiensi logistik dan daya saing di Indonesia. Infrastruktur memang menjadi salah satu masalah mendasar di Indonesia, terutama menyangkut jumlah, kapasitas, dan penyebarannya (supplychainindonesia.com, 2016).

Baca Juga: Pengungsi Gunung Agung Tembus 134 Ribu Jiwa, Logistik Cukup

Pemerintah Luncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid V

Pemerintah bukannya tidak menyadari buruknya sistem logistik di Indonesia yang telah berlangsung begitu lama. Oleh sebab itulah, pada Kamis (15/6/2017), pemerintah secara resmi meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi XV guna mempercepat pengembangan usaha dan memperkuat daya saing penyedia jasa logistik nasional.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan paket tersebut meliputi empat kebijakan. Pertama, pemberian kesempatan meningkatkan peran dan skala usaha. Kedua, kemudahan berusaha dan pengurangan beban biaya bagi usaha penyedia jasa logistik nasional. Ketiga, penguatan kelembagaan dan kewenangan Indonesia National Single Window (INSW). Keempat, penyederhanaan tata niaga ekspor dan impor.

Sayangnya, langkah pemerintah masih dirasakan minim dampaknya bagi pelaku dunia usaha di bidang logistik. “Belum terasa dampaknya, selain ada proses-proses birokrasi yang lebih sederhana karena paket deregulasi. Tapi di sisi lain biaya logistik yang berhubungan dengan tariff-tarif di pelabuhan dan bandara untuk kargo juga naik. Akhirnya dampak positif dari paket deregulasi kurang terasa,” kata Zaly Ilham Masita, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) saat dihubungi Suara.com, Selasa (21/11/2017).

Zaldy juga mengkritik posisi logistik Indonesia dibandingkan dengan 5 negara besar di ASEAN paling tertinggal. Bahkan dengan Filipina, kondisi maritim logistik mereka lebih bagus daripada Indonesia. “Karena mereka sangat maju dalam hal short sea shipping seperti RORO. Indonesia perlu melakukan banyak lompatan untuk mengejar ketertinggalan dalm hal infrastruktur dan regulasi logistik,” ujarnya.

Kedepan, ia berharap pemerintah menjalankan perpres sislognas dengan konsisten. Ini penting karena pelaku logistik butuh kepastian jangka panjang karena investasi logistik tidak bisa berubah-ubah setiap 5 tahun.
“Pemerintah juga perlu melakukan moratorium semua tarif yang berhubungan langsung dengan logistik terutama tarif yang dikeluarkan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Kementerian Perhubungan dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak,” tutupnya.

Kementerian Koordianator Bidang Perekonomian, menegaskan bahwa pemerintah sendiri sejauh ini sudah berupaya membenahi sistem logistik agar lebih efisien dan mempermudah pelaku usaha. Menurut Erwin Raza, Asisten Deputi Pengembangan Logistik Nasional, Kemenko Perekonomian, pemerintah sudah mencoba memperkuat daya saing pelaku usaha logistik melalui PKE jilid XV.

“Memang tidak serta merta langsung membuat daya saing pelaku usaha di lapangan langsung meningkat. Perlu diperhatikan implementasinya sejauh apa,” kata Erwin saat dihubungi, Senin (20/11/2017).

Ia juga menegaskan pemerintah terus memperkuat Tol Laut untuk turut memperbaiki logistik nasional. Dari semula 6 rute, diperluas menjadi 13 rute. “Tentu terkait masalah biaya logistik, harus dilihat secara khomprehensif, tidak bisa parsial,” jelasnya.

Sejauh ini, Kemenko Perekonomian terus berupaya memperkuat sumber daya manusia di bidang logistik. Saat ini, pemerintah sudah membangun dua akademi logistik, yaitu di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara dan Kabupaten Bitung, Sulawesi Utara. “Lokasi itu kita pilih karena pemerintah sedang membangun dua pelabuhan internasional, di Kuala Tanjung, dan Bitung,” ujarnya.

Terkait rendahnya indeks LPI Indonesia, Erwin mengatakan indikator tersebut lahir dari survey terhadap pelaku usaha di bidang logistik. Masalahnya, persepsi sangat tergatung dari sisi pandang pelaku usaha tersebut terhadap logistik Indonesia.

“Untuk deregulasi, sebetulnya pemerintah terus menghimpun masukan dengan pelaku dunia usaha. Kami menerimamasukan-masukan itu, lalu membuat analisisnya. Tidak semua masukan dari pelaku usaha sesuai dengan kepentingan nasional. Padahal itu yang jadi prinsip kami,” tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI