Suara.com - Sudah dua tahun DPR menolak rapat dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini M Soemarno. Rini Ditolak menghadiri rapat kerja atau rapat dengar pendapat oleh DPR.
Penolakan kehadiran Menteri BUMN Rini Soemarno di DPR telah berlangsung sejak keluarnya rekomendasi Panitia Khusus Angket Pelindo II DPR pada Desember 2015.
Menanggapi hal tersebut pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati meminta permasalahan ini segera diakhiri.
"Harus segera diakhiri, karena selama ini kan banyak kebijakan-kebijakan besar yang harus diambil BUMN dan itu semua butuh koordinasi dengan DPR. Lah kan aneh semua kebijakan yang diambil BUMN disampaikan oleh menteri lain misalnya Sri Mulyani. Karena menteri kan job desknya masing-masing," kata Enny saat dihubungi suara.com, Senin (27/11/2017).
Baca Juga: Rini Soemarno Merespon BUMN Disebut Monopoli Proyek Infrastruktur
Menurut Enny, dalam struktur ketatanegaraan adactiga pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam pembahasan menurut Enny kebijakan pemerintah termasuk penyusunan legislasi mulai dari budgeting dan harus dievaluasi oleh legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat.
“Nah kalau menterinya nggak diterima, nah terus siapa yang mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang BUMN. Nah ini kan menganggu efektifitas kerja ketatanegaraan. Jadi ini harus ada solusinya agar kebijakan bisa berjalan dengan baik,” katanya.
Akibat larangan tersebut, beberapa target Kementerian BUMN banyak yang tidak tercapai. Salah satunya adalah tercatat 26 perusahaan di bawah bendera BUMN merugi pada kuartal I-2017, yang mencapai Rp 3,4 triliun.
Padahal sebelumnya, Kementerian BUMN menargetkan keuntungan atau laba yang berhasil dibukukan BUMN pada 2017 sebesar Rp205 triliun. Dengan kata lain, perolehan meningkat dari tahun 2016 sebesar Rp164 triliun di tahun 2017.
Baca Juga: Ditegur Menkeu Soal Keuangan PLN, Rini Soemarno: Itu Hal Biasa