Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) periode 2009-2014 Hadi Poernomo mengatakan, reformasi perpajakan bukan lagi menjadi hal yang bisa ditawar-tawar. Sudah waktunya pajak menjadi lembaga di bawah Presiden langsung agar kewenangan yang diberikan menjadi semakin luas.
Sebab selama ini, kata Hadi, kewenangan yang diberikan tidak sebanding dengan kewajiban yang harus diemban. Dampak selanjutnya, penerimaan pajak sejak tahun 2009 tidak pernah mencapai target.
Menurutnya, tanggung jawab dan kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak sebanding dengan kewenangan yang dimiliki. Ada 11 UU yang diemban oleh Dirjen Pajak, sementara kewenangan yang diberikan sangat kecil, ibaratnya tiga berbanding sembilan. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan pendapatan pajak tidak pernah mencapai target.
Baca Juga: Skandal Pajak 'Paradise Papers' Ikut Seret Nama Sandiaga Uno
"Untuk itu, perlu adanya perubahan yang sangat mendasar dari sisi kelembagaan agar kewenangannya menjadi lebih besar,” ujar Hadi Poernomo dalam Seminar bertajuk “Reformasi Perpajakan Pasca Tax Amnesty untuk Memperkuat Sistem Perpajakan di Indonesia Menuju Kemandirian Bangsa di Unair Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/11/2017).
Lebih lanjut ia mengatakan, di saat pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukan trend positif, di saat itu pula gap antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak menjadi bertambah lebar. Penerimaan pajak tidak mencapai target lebih dari satu dasawarsa terakhir dan tax ratio stagnan cenderung turun sehingga dapat dikatakan penerimaan pajak Indonesia saat ini jauh dari kata memuaskan.
“Padahal pajak memikul beban penerimaan hampir 85% dari target penerimaan negara tahun 2018,” tegasnya.
Hadi berharap Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang saat ini masih dibahas DPR, diharapkan akan segera disahkan menjadi undang-undang.
"Dengan diundangkannya RUU KUP ini diharapkan penerimaan pajak negara akan meningkat dibanding sebelumnya," tukasnya.
Baca Juga: Heboh 'Paradise Papers', Inilah Janji Ditjen Pajak