Publikasi terbaru Bank Dunia menyatakan harga minyak dunia akan mengalami peningkatan menjadi sebesar rata-rata 56 dolar AS per barel pada 2018 dari rata-rata 53 dolar AS per barel pada 2017. Kenaikan harga minyak tersebut disebabkan oleh permintaan yang meningkat, pemotongan produksi yang disepakati oleh eksportir minyak serta stabilnya produksi "shale oil" di Amerika Serikat.
"Harga energi mulai pulih akibat permintaan yang stabil dan turunnya pasokan. Namun hal ini akan banyak tergantung pada produsen minyak yang berupaya melanjutkan penurunan produksi," kata Ekonom Senior Bank Dunia John Baffes menanggapi penerbitan "Commodity Markets Outlook" Oktober 2017 dalam pernyataaannya di Jakarta, Jumat (27/10/2017).
Publikasi tersebut menyatakan perkiraan harga minyak dunia mengalami revisi turun dibanding proyeksi pada April 2017 dan memiliki risiko karena pasokan dari negara produsen minyak seperti Libya, Nigeria, dan Venezuela dapat berubah-ubah.
Baca Juga: Luhut Jelaskan Soal Gunung Agung Pada IMF dan Bank Dunia
Selain itu, anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen telah menyepakati untuk melakukan pemangkasan produksi lebih lanjut dan mempertahankan tekanan pada harga. Namun, kegagalan untuk memperbarui kesepakatan tersebut dan peningkatan produksi industri "shale oil" di Amerika Serikat dapat menurunkan harga minyak.
Sementara itu, harga gas alam diperkirakan meningkat sebesar tiga persen pada 2018 dengan harga batubara mulai mengalami penurunan setelah naik hampir sebesar 30 persen pada 2017. Laporan "Commodity Markets Outlook" ini juga menyebutkan antisipasi terhadap kebijakan lingkungan di Tiongkok menjadi faktor penting yang dapat menentukan tren pasar batubara di masa depan.
Secara keseluruhan, harga untuk komoditas energi, termasuk minyak, gas alam dan batubara akan mengalami kenaikan sebesar empat persen pada 2018, setelah meningkat sebesar 28 persen pada 2017. Publikasi itu ikut memproyeksikan adanya penurunan harga bijih besi sebesar 10 persen pada 2018, namun pasokan yang kuat akan mendorong peningkatan harga logam dasar termasuk timbal, nikel dan seng.
Risiko penurunan tersebut mencakup permintaan dari Cina yang lebih lambat dari perkiraan atau pelonggaran pembatasan produksi pada industri berat Cina. Harga emas juga diantisipasi bergerak lancar pada 2018 seiring dengan perkiraan adanya kenaikan suku bunga acuan dari Bank Sentral Amerika Serikat.
Untuk itu, indeks logam diperkirakan akan stabil pada 2018, setelah mengalami kenaikan 22 persen pada 2018, seperti harga bijih besi yang terkoreksi dan bisa diimbangi oleh kenaikan harga logam dasar lainnya.
Baca Juga: Temui Jokowi, Bank Dunia Tawarkan Bantuan Dana Infrastruktur
Laporan ini juga mencantumkan proyeksi harga hasil pertanian yang diperkirakan meningkat pada 2018 karena berkurangnya pasokan, dengan harga gandum, minyak dan makanan sedikit naik. Pasar komoditas pertanian juga dipasok dengan baik disertai rasio suplai dan permintaan beberapa jenis biji-bijian yang diperkirakan berada pada level tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.