Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 10,04 persen pada 2018. Penyesuaian ini sudah disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas (ratas) di Istana Merdeka, pada Kamis (19/10/2017). Dengan dalih alasan penerimaan negara. Menurut koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan, alasan penerimaan negara selalu menjadi alasan paling krusial, bahwa sebenarnya selain cukai rokok tidak ada lagi sumber pendapatan pemerintah yang bisa memberikan dana segar dalam waktu cepat.
“Karena, berharap dari komoditi non-migas ataupun dari komoditi migas tidak ada yang secepat pabrik rokok dalam memberikan dana kepada pemerintah,” kata Zulvan di Jakarta, Senin (23/10/2017).
Zulvan mengungkapkan, jumlah pabrik rokok pada 2006 sebanyak 4.669, hingga saat ini menurun drastis tinggal 500 pabrik. Industri yang gulung tikar adalah industri kecil menengah (produsen rumahan, pabrikan kecil). Gulung tikar unit usaha IHT ini berpotensi meningkatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga 15 ribu tenaga kerja.
Baca Juga: GAPPRI: Kinerja Industri Hasil Tembakau Turun Tiga Tahun Terakhir
Ditegaskan Zulvan, adalah keniscayaan bahwa petani tembakau dan buruh linting serta buruh pabrik kretek yang dengan mesin sekalipun menyerap banyak tenaga kerja tidak dapat begitu saja dialihkan dengan sumber penghidupan yang lain. Program pengalihan itu telah berjalan selama 10 tahun kalau mengacu UU Cukai 2007, tapi tetap saja program itu hingga kini belum ada hasil apapun.
“Entah mengapa masih saja mau diterus-teruskan pendapat seperti itu,” ujar Zulvan.
Zulvan juga mengkritisi, ketika pemerintah terus-menerus menggenjot cukai rokok sebagai penerimaan negara, pengembalian hak pemanfaatan cukai rokok oleh pembayar cukai atau konsumen selalu diabaikan oleh pemerintah. Salah satunya adalah penyediaan ruang merokok bagi perokok.
Zulvan bilang, secara hukum penyediaan ruang merokok dalam Kawasan Tanpa Rokok (KTR) harus disediakan oleh pemerintah, tapi terus terang sudah 5 tahun sampai hari ini pemerintah tidak pernah memperhatikan hal itu.
“Bahwa, konsumen rokok sebagai mata rantai paling ujung adalah mereka rakyat kebanyakan yang ditindas oleh kebijakan cukai ini. Sehingga alokasi dana pajak dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tak jelas kemana larinya dan untuk apa pemanfaatannya,” tukas dia.
Baca Juga: Indonesia Diminta Contoh Prancis untuk Naikkan Harga Rokok
Diketahui, terdapat empat aspek pemerintah dalam menaikkan tarif cukai hasil tembakau. Pertama, kenaikan cukai rokok ini telah memperhatikan pandangan masyarakat terutama dari aspek kesehatan dan konsumsi rokok yang harus dikendalikan. Kedua, kenaikan cukai rokok ini harus bisa untuk mencegah makin banyaknya rokok ilegal. Ketiga, kenaikan ini juga memperhatikan dampaknya terhadap kesempatan kerja, terutama pada petani dan buruh rokok. Keempat, terkait peningkatan penerimaan negara.