Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) pada Senin (2/10/2017) melakukan audiensi dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN) dan diterima oleh beberapa Commissioner BPKN, antara lain Dr. Ir. Arief Safari, MBA, Prof. Dr. Ir. Atih Surjati, M.Sc, Bambang Sumantri, MBA dan lain-lain. Audiensi terkait penolakan ASPEK Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terhadap rencana Pemerintah yang akan memberlakukan Gardu Tol Otomatis (GTO) 100 persen di seluruh jalan tol yang ada di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Mirah Sumirat, Presiden ASPEK Indonesia berbagi pengalamannya saat menghadiri kegiatan "UNI High-Level Delegation to China - Dialogue between ACFTU & UNI" pada tanggal 20-24 September 2017 di Beijing China. ACFTU adalah Konfederasi Serikat Pekerja China.
Dengan mata kepalanya sendiri, Mirah Sumirat melihat bahwa jalan tol di Beijing tidak memberlakukan otomatisasi 100 persne, namun tetap mempekerjakan manusia dan menyediakan akses tunai yang lebih banyak dibanding non tunai. Gardu tol di Cina baru 20 persen yang diotomatisasi melalui Alipay (uang elektronik di Cina), sedangkan 80 persennya masih memberlakukan transaksi tunai.
Baca Juga: BPTJ: Transaksi e-Money di Jalan Tol Sudah Mencapai 49 Persen
Saat Mirah menanyakan kepada salah satu pejabat yang ditemuinya, mengapa tidak memberlakukan otomatisasi 100 persen, ia mendapat jawaban yang di luar dugaan. "Pejabat tersebut mengatakan, jika semua di-otomatisasi, bagaimana nasib 1,3 miliar penduduk Cina yang masih membutuhkan pekerjaan dan penghasilan?," kata Mirah.
Selama ini berbagai pihak di Pemerintah Indonesia selalu mengatakan bahwa di negara-negara lain semua jalan tol sudah otomatis. "Informasi yang dihembuskan oleh Pemerintah ternyata tidak benar, karena faktanya di Cina, Malaysia, Amerika dan lain sebagainya, tidak diberlakukan 100 persen otomatisasi dengan pertimbangan perlindungan tenaga kerja dan perlindungan konsumen, ungkap Mirah.
Dalam audiensi yang sama, Sabda Pranawa Djati, Sekretaris Jenderal ASPEK Indonesia juga mengatakan bahwa Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia (BI) dan GTO 100 persen yang dilakukan oleh PT Jasa Marga yang didukung Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat ini sesungguhnya hanya menguntungkan pihak bank penerbit uang elektronik. Menurutnya, sudah sejak lama ketika dibuka GTO di beberapa gerbang tol, konsumen pengguna jalan tidak antusias untuk membeli e-toll/e-money, dibuktikan dengan sepinya GTO di semua gerbang.
"E-money itu jualannya bank, kenapa justru Negara yang berperan menjadi "sales"-nya?", tanya Sabda.
Selama ini bank penerbit uang elektronik kebingungan karena E-money tidak laku di masyarakat. Sabda menduga pihak perbankan (melalui Himpunan Bank Negara/Himbara) kemudian melobi Pemerintah (Bank Indonesia) untuk bisa turut "menjual" e-money dengan mewajibkan transaksi non tunai di beberapa fasilitas publik, seperti di Transjakarta dan di jalan tol. Tidak menjadi masalah jika bank berjualan kartu uang elektronik secara retail tanpa melibatkan peran Pemerintah.
Baca Juga: OJK Janji Awasi Pengenaan Biaya Top Up e-Money oleh Bank
"Namun menjadi persoalan yang serius dan merugikan konsumen ketika justru Bank Indonesia (red: Negara) yang kemudian keblinger dengan berperan sebagai "sales" dan menggunakan instrumen Negara (Kementerian dan BUMN) untuk memaksa konsumen membeli e-toll/e-money," tuturnya.
Commissioner BPKN, Dr. Ir. Arief Safari, MBA, mengatakan bahwa BPKN telah membuat Rekomendasi kepada Bank Indonesia tertanggal 22 September 2017. Salah satu rekomendasinya berbunyi: "Pada setiap transaksi di wilayah NKRI, konsumen terjamin tetap memiliki akses pembayaran tunai, sesuai Undang Undang No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang masih berlaku".