Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengkritik kasus PT Freeport Indonesia yang menurutnya selalu menjadi ajang pencitraan murahan elite pemerintahan dengan berpura pura nasionalis. Pemerintah dinilai tidak konsisten antara apa yang diucapkan dengan realisasi pelaksanaanya.
"Setiap masalah dengan Freeport selalu berakhir dengan deal yang menjijikkan. Antara kata dan perbuatan pemerintah tidak sama. Ibarat pepatah "lain di bibir lain di hati"," kata Salamuddin di Jakarta, Sabtu (30/9/2017).
Menyangkut soal kepemilikan saham pemerintah 51 persen, pemerintah mengatakan akan memgambil alih saham PT Freeport Indonesia dengan kepemilikan 51 persen. Tapi prakteknya nanti pemerintah tidak akan pernah mendapatkan sebesar itu. Bahkan sampai kontrak PT Freeport Indonesia berakhir, pemerintah tidak akan punya saham sama sekali.
Baca Juga: Freeport Tolak Mekanisme Divestasi 51%, Ini Kata Sekjen Kemenkeu
"Akan tetapi segelintir oligarki kekuasaan akan punya saham. Apa dasarnya ? Pemerintahan sedang kere mana mungkin beli saham senilai Rp. 100 triliun. Besar kemungkinan yang terjadi jual beli kebijakan untuk kepentingan pribadi seperti yang terjadi sekarang dalam kasus freeport," jelasnya.
Selain itu, perubahan kontrak karya menjadi IUPK diyakini tak akan berlangsung mulus. Freeport berpikir ulang untuk mengubah kontrak karya menjadi IUPK dalam situasi politik indonesia yang rawan dengan perubahan kebijakan. Jadi perubahan ini akan memghadapi masalah yang besar dan tidak akan berjalan. "Padahal perubahan kontrak karya menjadi IUPK telah memberi freeport keleluasaan mengeksploitasi tambang hingga 20 tahun ke depan. Itu saja sudah melanggar rasa keadilan rakyat," tambahnya.
Adapun masalah pembangunan smelter yang seharusnya sudah tuntas 2014 lalu, sudah tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak ada kemajuan sama sekali soal pembangunan smelter Freeport. Dalam tiga tahun terakhir tidak ada progres pembangunan smelter. Pemerintah memberi kesempatan lima tahun lagi dengan cara melanggar UU minerba. "Pelanggaran yang akan terus berulang ulang dimasa mendatang dalam bentuk yang sama. Deal deal tertutup yang merugikan negara," kecamnya.
Untuk masalah negosiasi sistem pajak bagi Freeport, pemerintah mau menerapkan sistem pajak yang berubah-ubah. Sementara freeport mau sistem pajak yang bersifat tetap. Dengan sistem pajak berubah ubah maka pemerintah bisa menaikkan sesuka hati atau menurunkan sesuka hati. Dengan demikian maka kebijakan ini rawan menjadi ajang bancakan penguasa. Kebijakan ini rawan dipertukarkan dengan uang.
"Misalnya freeport akan diturunkan pajaknya tapi setor ke individu penguasa. Sangat mungkin hal ini terjadi dalam pemerintahan oligarki yang korup. Freeport sudah pasti akan menolak modus pemerasan. Kalau bisa freeport ngeruk sebanyak banyaknya dengan pajak serendah rendahnya. Jadi pemerintahan Jokowi, berhentilah melakukan kampanye murahan solah-olah nasionalis. Jurus omong kosong menteri ESDM ini juga harus dihentikan. Omong kosong terlalu banyak akan mempermalukan bangsa dan negara indonesia dihadapan orang luar. Pemerintah juga harus mengakhiri mejual negara, konstitusi dan UU untuk memperkaya diri pribadi dan kelompok," pungkasnya.
Baca Juga: Tiga Mantan Karyawan Freeport Jadi Tersangka Demo Anarkis