Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai sengketa konsumen antara Arfianus Algadri sebagai konsumen asuransi dengan PT Allianz Life Indonesia sebagai perusahaan asuransi menarik dicermati. Langkah hukum yang dilakukan konsumen dalam perspektif UU Perlindungan Konsumen sudah benar.
"Bahwa konsumen berhak melakukan upaya hukum secara perdata dan atau menuntut secara pidana jika dirinya merasa dirugikan oleh pelaku usaha," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, di Jakarta, Sabtu (30/9/2017).
Sebaliknya, bagi pelaku usaha yang diduga melanggar hak konsumen dan atau melanggar UU Perlindungan Konsumen, bisa dikenai sanksi perdata, pidana, dan administrasi. Sanksi administrasi adalah berupa pencabutan izin operasi dari perusahaan yang bersangkutan.
Baca Juga: Dua Tersangka Mantan Bos Allianz Diperiksa Pekan Depan
"Ini bukan kali pertama kasus sengketa konsumen dengan berbasis UU Perlindungan Konsumen, yang berujung pada pidana. Salah satu contoh kasus teraktual adalah kasus beras "Maknyus", yang menjadikan Presdir PT IBU dijadikan tersangka," tuturnya.
Kasus ini menjadi preseden buruk dan kampanye negatif bagi sektor asuransi dan makin membuat masyarakat Indonesia malas berasuransi. Apalagi asuransi belum menjadi kultur bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Fenomena ini semakin mengukuhkan persepsi bahwa klaim terhadap perusahaan asuransi selalu dipersulit, dan akhirnya ditolak.
"Data pengaduan YLKI, pengaduan asuransi menduduki rangking ke-7 sebanyak 32 kasus, 53 persen klaim konsumen ditolak oleh perusahaaan asuransi. Penolakan itu lebih karenakan informasi produk yang tidak jelas, dan pelayanan (saat klaim) yang berbelit-belit," jelasnya.
Oleh sebab itulah, YLKI mendesak perusahaan asuransi untuk memperbaiki cara pemasaran dan marketingya agar tidak hanya menonjolkan sisi kelebihan produknya, tapi tidak menunjukkan/menyembunyikan hal-hal yang harus diketahui konsumennya.
Selain itu, YLKI mendesak Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan review/perombakan terhadap perjanjian standar/polis antara konsumen dengan perusahaan asuransi. Mendesak untuk dibuat kontrak standar yang diseragamkan/distandarkan oleh OJK, sehingga tidak ada peluang bagi perusahaan asuransi menyerimpung hak konsumen dengan perjanjian yang tidak fair. "OJK juga harus secara pro aktif melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa tidak adanya unfair contract term dalam praktik di industri asuransi yang sangat merugikan konsumen," tegasnya.
Baca Juga: Skandal Allianz Life Jadi Bukti 'Moral Hazard' Industri Keuangan
Mendesak perusahaan asuransi untuk tidak mencantumkan pasal klausula baku dalam perjanjian standarnya. Berdasar UU Perlindungan Konsumen, praktik klausula baku dalam perjanjian standar adalah dilarang dan bisa dipidana. Tingginya sengketa konsumen dibidang asuransi dan berujung pada ditolaknya klaim, lebih dipicu adanya kontrak standar yang didesain tidak adil oleh masing-masing perusahaan asuransi. Oleh sebab itulah, konsumen pada saat ingin meng-apply sebuah produk jasa asuransi sebaiknya berhati-hati, membaca dengan teliti kontrak standarnya, bertanya pada orang lain dan kalau perlu ada pendampingan.
"Asuransi adalah produk spesifik dan rumit, sementara konsumen mayoritas mengalami asimetri informasi produk jasa asuransi. Sehingga konsumen tidak terkena jebakan betman dalam bertransaksi dengan perusahaan asuransi," tutupnya.