Berpotensi Monopoli, ATVSI Tolak Single Mux di Industri Penyiaran

Adhitya Himawan Suara.Com
Selasa, 26 September 2017 | 13:34 WIB
Berpotensi Monopoli, ATVSI Tolak Single Mux di Industri Penyiaran
Ilustrasi televisi. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pembahasan Rancangan Undang Undang Penyiaran saat ini telah memasuki tahap harmonisasi, pembulatan dan pemantapan antara Badan Legislasi (Baleg) dengan Komisi I DPR RI. Jika kesepakatan dalam rapat tersebut tercapai, Baleg akan menyerahkan draf RUU ke Komisi I DPR yang nantinya Komisi I akan membawa draf RUU Penyiaran ke Sidang Paripurna DPR untuk disahkan menjadi RUU Penyiaran Inisiatif DPR.

"Meskipun demikian, melihat hasil rapat harmonisasi, pembulatan dan pemantapan pada tanggal 20 September yang lalu, konsep RUU Penyiaran tersebut dinilai masih jauh dari harapan dalam menciptakan industri penyiaran yang sehat dikarenakan masih ada sejumlah poin yang secara substansi belum menemukan titik temu," kata Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK, dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (25/9/2017).

Ia menduga Komisi I DPR masih tetap ngotot bahwa Baleg tidak memiliki kewenangan dalam melakukan perubahan substasnsi atas RUU Penyiaran versi Komisi I. Sedangkan dilain pihak, Baleg berpendapat bahwa kewenangan tersebut diberikan kepada Baleg berdasarkan UU No 12/2011 dan UU MD3. Salah satu dari perubahan substansi yang dilakukan oleh Baleg adalah tentang model bisnis migrasi sistem penyiaran televisi terresterial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital. 

Baca Juga: Ishadi SK: Penyiaran di Indonesia Jangan Single Mux

"Komisi 1 tidak bersedia untuk mengubah konsep single mux operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital," jelasnya.

Padahal penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran. Dalam konsep tersebut dimana frekuensi siaran dan infrastruktur dikuasai oleh single mux operator dalam hal ini LPP RTRI, justru menunjukkan adanya posisi dominan atau otoritas tunggal oleh Pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.

”Kami tegaskan menolak konsep single mux tersebut. Bisa dilihat bahwa konsep yang sarat dengan praktik monopoli itu jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sekalipun hal tersebut dlakukan oleh lembaga uyang dimiliki oleh Pemerintah” jelas Ishadi SK. 

Menurutnya, konsep single mux bukan merupakan solusi dalam migrasi TV analog ke digital. Penetapan single mux operator akan berdampak kepada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi yang menjadi roh penyiaran dan sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak saja, terjadinya pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.

“Solusinya dengan memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal dengan model bisnis hybrid. Konsep hybrid merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari praktek monopoli (single mux),” imbuh Ishadi.

Baca Juga: Dinilai Mendesak, RUU Penyiaran Harus Segera Disahkan

Ishadi mengatakan, saat ini konsep single mux operator hanya diterapkan oleh dua negara anggota International Telecommunication Union (ITU), yaitu Jerman dan Malaysia. Di kedua negara tersebut, market share TV FTA hanya 10 persen dan 30 persen sedangkan sisanya didominasi oleh TV kabel dan DTH. Sedangkan di Indonesia justru market shares TV FTA sebesar 90 persen sedangkan sisanya 10 persen adalah TV Kabel.

“Kita harus melihat bahwa konsep single mux yang ditetapkan di Malaysia justru tidak berjalan mulus dan banyak masalah sejak diluncurkan. Tingkat layanannya rendah dan harga tidak kompetitif sehingga para stasiun televisi termasuk stasiun televisi yang dimiliki oleh Pemerintah tidak mau membayar biaya sewa kanal. Dan ini tidak sehat bagi industri penyiaran,” kata Ishadi.

Lebih lanjut Ishadi mengatakan, berbagai upaya sudah dilakukan oleh ATVSI, salah satunya dengan melakukan road show ke sejumlah partai politik yang ada di DPR, dengan menjelaskan konsep dan juga poin penting usulan alternative ATVSI kepada para ketua partai politik. “Road show ke sejumlah partai politik sudah kita lakukan. Para ketua partai politik juga menyatakan tidak sepakat dengan konsep single mux itu karena berpotensi menciptakan situasi yang tidak demokratis seperti di jaman Orde Baru. Mereka juga memahami serta mengapresiasi masukkan dari kami,” imbuh Ishadi.

Dalam road show itu, ATVSI kembali menegaskan pentingnya pelayanan kepada masyarakat baik secara teknis dan juga konten program dimana keduannya akan terus ditingkatkan dan diperbaiki. Ishadi menambahkan, pemerintah dan DPR RI harus menetapkan bisnis model migrasi digital yang tepat, sehingga dapat menciptakan industri penyiaran yang sehat, kuat dan memiliki daya saing di kancah internasional.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI