Sebelumnya pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah memberikan penghargaan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang telah berkontribusi secara signifikan dalam kemudahan layanan perizinan dalam pembangunan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah di daerah dalam rangka program satu juta rumah.
Penghargaan tersebut jatuh kepada Kabupaten Maros, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Malang. Untuk Pemerintah Kota, ada dari Kota Jambi, Pontianak dan Pemerintah Kota Manado. Bahkan Kota Pontianak berhasil mengurus perizinan hanya dalam waktu 6,5 jam.
"Indonesia Property Watch mempertanyakan kebenaran dari singkatnya perijinan yang dilakukan. Karena berdasarkan pengamatan dan investigasi di lapangan, perijinan masih saja menjadi permasalahan klasik yang menghambat pembangunan proyek perumahan," kata Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda, dalam keterangan resmi, Rabu (20/9/2017).
Baca Juga: Ini Alasan IPW Menangkan Meikarta di Golden Property Award 2017
Bahkan dalam suatu proyek perumahan rumah subsidi, pengembang harus menunggu 1,5 tahun untuk memeroleh Ijin Mendirikan Bangunan. Namun secara umum waktu pengurusan perijinan masih berkisar antara 6 bulan sampai 1 tahun.
Meskipun saat ini di beberapa daerah sudah diterapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), namun sebagian besar pengembang belum merasakan adanya perubahan signifikan dalam pelayanan proses perijinan mulai ijin lokasi sampai IMB. Proses perijinan yang dilakukan di setiap loket terkadang tidak berjalan sebagaimana mestinya karena tetap lebih cepat melalui oknum ‘calo’.
"Meskipun belum dilakukan investigasi menyeluruh namun hampir 98 persen dari pengembang yang berhasil ditemui, mengatakan bahwa sampai saat ini birokrasi perijinan belum ada perubahan," tutur Ali.
Biaya Siluman
Selain itu mengenai biaya-biaya perijinan, biaya-biaya siluman masih banyak dihadapi oleh para pengembang. Dengan batasan harga rumah murah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan senilai Rp140 juta beban biaya tak resmi atau biaya siluman minimum Rp6,5 juta per unit atau 4,6 persen bahkan ada yang mencapai sampai 15 persen.
Baca Juga: IPW Pertanyakan Rencana Polda Metro Rekrut 'Pak Ogah'
"Angka ini relatif kecil, tetapi menjadi sangat besar bila dikalikan jumlah rumah yang dibangun. Per seratus rumah yang dibangun, pengembang harus mengeluarkan dana cadangan di muka sebesar Rp650 juta, dan bila 1.000 unit rumah menjadi Rp6,5 miliar,” ungkap Ali.
Uang siluman tersebut ditempatkan untuk beberapa pos, misalkan biaya perijinan, biaya sertifikasi, sampai biaya koordinasi antara oknum pejabat pemerintah daerah sampai preman-preman. Hal ini hampir dilakukan oknum di semua pemerintah daerah.
Selain itu, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dalam memberikan pelayanan perijinan pun dinilai masih belum mumpuni. Banyak kebijakan terkait syarat-syarat yang tidak seragam bahkan diantara internal pemerintah daerah. Setiap perangkat pemerintah daerah harusnya dapat melakukan koordinasi yang lebih baik sehingga tidak harus mengulang proses yang tengah dijalankan pengembang dikarenakan syarat yang tidak seragam.
Terkait dengan sumber daya manusia yang ada, banyak Pemda yang belum sepenuhnya mengatur mengenai pemangkasan perijinan. Banyaknya Perda yang masih tumpang tindih dan harus diatur ulang. Selain itu juga sosialisasi oleh kementerian dan petunjuk pelaksanaan di beberapa daerah terkesan belum siap.
Sistem online yang ada di beberapa di daerah pun seakan tidak beroperasi karena tanpa sumber daya manusia yang baik, sistem hanya sebatas sistem. Berkas yang ada pun terus menumpuk atau memenag sengaja di tumpuk? Kondisi-kondisi tersebut diatas memberikan peluang bagi para oknum untuk bermain dengan berdalih untuk mempercepat proses yang ada.
"Sungguh luar biasa bila perijinan dapat diselesaikan dalam 6,5 jam. Namun berdasarkan fakta di lapangan, secara umum agaknya sulit berjalan. Karenanya untuk tetap mendukung lancarnya program sejuta rumah untuk ketersediaan rumah MBR, maka Indonesia Property Watch menghimbau pemerintah lebih serius dan langsung turun ke lapangan mendengarkan keluhan para pelaku pasar. Tanpa itu laporan yang diterima oleh Presiden hanyalah ABS (Asal Bapak Senang)," tutup Ali.