Menurutnya, pembebanan biaya isi ulang e-money kepada konsumen sangat memberatkan. Terlebih , untuk konsumen yang hanya menggunakannya untuk naik kereta atau busway.
"Itu besar loh, diitung aja kalau sebulan top up 10 kali udah berapa itu lumayan kan bisa buat yang lain," katanya.
Komentar berbeda dari karyawan swasta bernama Theresia Widiastuti. Dia mengaku tak masalah dengan rencana BI memberlakukan biaya tambahan isi ulang e-money.
"Nggak masalah sih, sepanjang kalau biayanya masih masuk akal. Karena di luar negeri juga sama ada biaya administrasinya lah. Sama seperti beli pulsa kan dikenakan biaya Rp1500 juga tuh," kata dia.
Baca Juga: YLKI Tuding Ada Kepentingan Perbankan dalam Biaya Top Up e-Money
Pada Akhir September 2017, Bank Indonesia mengeluarkan aturan terkait pembebanan biaya isi ulang atau top up uang elektronik kepada konsumen sebesar Rp1500 hingga Rp2 ribu.
Namun keberadaan aturan ini dinilai sangat memberatkan bagi para konsumen. Seperti yang dirasakan oleh Lydia Sartika seorang Make up Artist. Selama ini Lydia mengaku sangat dimudahkan dengan adanya uang elektronik.
Namun, bila Bank Indonesia tetap memberlakukan aturan tersebut maka masyarakat di Indonesia tidak mau lagi menggunakan e-money.
"Ya kan orang langsung mikir dong, mending pakai uang cash aja nominalnya nggak kepotong. Tujuan e-money kan untuk mempermudah pembayaran, terus nggak mikirin soal adanya uang kembalian karena bayarnya pas. Kalau ada biaya lagi orang kan malah ogah," kata Lydia saat berbincang kepada suara.com, Senin (18/9/2017).
Lydia mengatakan, tidak masalah jika uang isi uang elektronik tersebut masuk ke dalam pajak atau digunakan untuk pembangunan Indonesia.
Baca Juga: YLKI: Kebijakan Biaya Top Up e-Money BI Kontraproduktif
"Kalau masuk ke bank buat apaan, kan kalau beli kartunya juga udah kepotong masa ada biaya tambahan lagi, rugi dong yang beli," ujarnya.