Pada Akhir September 2017, Bank Indonesia akan mengeluarkan aturan terkait pembebanan biaya isi ulang atau top up uang elektronik kepada konsumen sebesar Rp1.500 hingga Rp2 ribu.
Namun keberadaan aturan ini dinilai sangat memberatkan bagi para konsumen. Seperti yang dirasakan oleh Lydia Sartika seorang make up artist. Selama ini Lydia mengaku sangat dimudahkan dengan adanya uang elektronik.
Namun, bila Bank Indonesia tetap memberlakukan aturan tersebut maka masyarakat di Indonesia tidak mau lagi menggunakan e-money.
"Ya kan orang langsung mikir dong, mending pakai uang cash aja nominalnya nggak kepotong. Tujuan e-money kan untuk mempermudah pembayaran, terus nggak mikirin soal adanya uang kembalian karena bayarnya pas. Kalau ada biaya lagi orang kan malah ogah," kata Lydia saat berbincang kepada suara.com, Senin (18/9/2017).
Baca Juga: YLKI Tuding Ada Kepentingan Perbankan dalam Biaya Top Up e-Money
Lydia mengatakan, tidak masalah jika uang isi uang elektronik tersebut masuk ke dalam pajak atau digunakan untuk pembangunan Indonesia.
"Kalau masuk ke bank buat apaan, kan kalau beli kartunya juga udah kepotong masa ada biaya tambahan lagi, rugi dong yang beli," ujarnya.
Lydia menginginkan seharusnya konsumen diberikan insentif seperti potongan harga jika menggunakan uang elektronik. Hal tersebut juga akan membantu menyukseskan program gerakan nontunai atau cashless society.
"Apa kek dikasih tongtol (tongkat tol) kek atau apa gitu, bukannya ada biaya yang harus ditanggung lagi," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Luppyta Pasya yang bekerja sebagai bintang iklan. Pasya mengaku tak menerima aturan. Menurut Pasya, aturan tersebut merugikan bagi konsumen.
Baca Juga: YLKI: Kebijakan Biaya Top Up e-Money BI Kontraproduktif
"Nggak lah, nggak setuju. Buset berarti banknya untung dua kali dong. Udah beli kartunya, kalau top up juga ada biaya lagi. E-money itu bagi saya udah kayak ATM aja, tapi versi simpelnya, jangan dibuat ribet dong," kata Pasya.