YLKI: Kebijakan Biaya Top Up e-Money BI Kontraproduktif

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 18 September 2017 | 17:30 WIB
YLKI: Kebijakan Biaya Top Up e-Money BI Kontraproduktif
Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2017). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengkritik kebijakan Bank Indonesia yang akan mengenakan biaya terhadap aktivitas isi ulang atau top up dari uang elektronik (e-money). Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan semangat Gerakan Nasional Non Tunai yang dicanangkan oleh BI.

"Saya kira kebijakan ini akan membebani konsumen. Perubahan dari penggunaan uang tunai menjadi e-money saja sudah membutuhkan effort. Apalagi jika dikenai biaya top up e-money. Masyarakat akan merasakan beban ganda," kata staf pengaduan dan hukum YLKI Mustafa saat dihubungi Suara.com, Senin (18/9/2017).

Mustafa mengingatkan selama ini BI gigih mengkampanyekan GNTT. Pemberlakuan kebijakan e-money untuk pembayaran gerbang tol, penggunaan jasa kereta listrik (KRL) Jabodetabek, serta pembelian tiket busway merupakan bagian dari langkah tersebut.

"Menjadi kontraproduktif ketika di tengah semangat itu, pemerintah justru memberlakukan kebijakan baru yang semakin memberatkan konsumen," ujar Mustafa.

Baca Juga: Bayar Tol Wajib Pakai e-Money, Pengacara: Itu Melanggar UU

GNTT sendiri diresmikan oleh Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo, pada Kamis (14/8/2017)di Jakarta. Gerakan ini ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara BI dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah serta Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia sebagai komitmen untuk mendukung GNNT.

Pencanangan GNTT dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku bisnis dan juga lembaga-lembaga pemerintah untuk menggunakan sarana pembayaran non tunai dalam melakukan transaksi keuangan, yang tentunya mudah, aman dan efisien.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI