Salah satu butir kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia adalah divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional Indonesia. Direktur eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar menilai, divestasi dari sudut pandang kepentingan nasional seolah-olah sangat nasionalis dan merupakan “kemenenangan” pemerintah Indonesia, padahal tidak demikian.
Menurutnya, publik harus kritis bahwa divestasi ini adalah membeli saham. Artinya Pemerintah Indonesia melalui BUMN mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membeli saham PT Freeport. Bisman pun mempertanyakan sumber dana untuk membeli saham tersebut.
“Darimana dana untuk membeli saham yang nilainya lebih dari Rp110 Triliun, apakah Pemerintah punya dana sebesar itu? dipastikan konsorsium seluruh BUMN tambang digabung pun tidak cukup mampu punya dana untuk membeli 51 persen saham PT Freeport,” kata Bisman di Jakarta, Rabu (30/8/2017).
Baca Juga: PUSHEP: Pemberian IUPK Kepada Freeport Indonesia Cuma Akal-akalan
Bisman khawatir divestasi ini nantinya malah akan diisi oleh investor cukong dari negara tertentu yang saat ini sedang gencar-gencarnya menguasai perekonomian Indonesia. Anehnya, Indonesia akan memiliki 51 persen saham, namun kendali operasi masih sepenuhnya berada di Freeport, ini jelas kerugian bagi Indonesia.
Bisman mengatakan, PT Freeport yang kontraknya akan selesai pada 2021, divestasi tidaklah tepat. Mestinya tunggu saja hingga tahun 2021 dimana wilayah kerja tambang milik Freeport di Papua akan sepenuhnya kembali ke Pemerintah Indonesia tanpa harus membeli saham Freeport.
“Dengan divestasi justru akan menjebak Indonesia untuk memberikan perpanjangan terus kepada Freeport,” katanya.