Pengamat Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menilai target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah dalam Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara 2018 terlalu ambisius dan sulit tercapai. Sebab, pemerintah tak lagi memiliki upaya yang menjadi pendorong kenaikan penerimaan pajak tahun depan.
"Darimana uangnya? Mau berharap dari apa? Tahun depan nggak ada tax amnesty, kalaupun ada basis data dari tax amnesty itu, berapa sih yang didapatkan? Orangnya itu-itu saja," kata Bhima dalam diskusi mengenai RAPBN 2018 di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (25/8/2017).
Selain itu, Bhima juga meragukan adanya aturan pemerintah terkait akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan atau Autimatic Exchange of Information dapat mendongkrak penerimaan negara. Pasalnya, implementasi aturan tersebut baru efektif pada September 2018, sehingga tak akan berpengaruh besar terhadap kas negara.
"AEoI, ketika sudah dapat dari Singapura, Macau, AS, kalau sudah dapat data mulai dari proses data dipegang Ditjen Pajak sampai diselidiki dan terbukti bersalah, berapa lama prosesnya? Apa 2018 bisa langsung masuk uang dari AEoI ke kas negara? Saya rasa tidak. Karena prosesnya panjang," ujarnya.
Oleh sebab itu, Bhima mengimbau kepada pemerintah untuk berhati-hati dalam merancang RAPBN 2018, jangan sampai semua yang ditargetkan menjadi berantakan.
Untuk diketahui, penerimaan perpajakan pada tahun 2018 terdiri dari Pajak Penghasilan sebesar Rp 852,9 triliun, Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 535,3 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp 17,4 triliun, Pajak lainnya sebesar Rp 9,7 triliun, Cukai sebesar Rp 155,4 triliun, Bea Masuk sebesar Rp 35,7 triliun, dan Bea Keluar sebesar Rp 3 triliun.
Adapun rasio penerimaan pajak atau tax rasio pada tahun depan ditargetkan sebesar 11,5 persen terhadap produk domestik bruto.