Pengamat Sebut Ada Dua Kondisi yang Perbolehkan PHK

Selasa, 22 Agustus 2017 | 13:35 WIB
Pengamat Sebut Ada Dua Kondisi yang Perbolehkan PHK
Serikat Pekerja Bank Danamon melakukan aksi di depan gedung Bank Danamon, di Jalan Rasuna Said, Jakarta, Jumat (28/10). [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Secara terpisah, pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Hadi Subhan, melihat pengurangan tenaga kerja tak bisa dihindari. Terutama jika dikaitkan dengan kapasitas perusahaan.

"Ibaratnya, kapal yang tadinya 2, sekarang tinggal 1. Harus ada sebagian yang diturunkan. Daripada kelebihan kapasitas lalu tenggelam semua," katanya saat dihubungi oleh Suara.com, Selasa (22/8/2017).

Hadi menjabarkan saat terjadi konsolidasi berupa merger atau akuisisi, aturan ketenagakerjaan terkait PHK mesti dipahami secara berbeda dengan kondisi normal. Sebab, biasanya ada dua situasi yang akan dihadapi. Pertama, para karyawan tidak mau ikut bekerja di bawah naungan pimpinan baru.

Baca Juga: Ancaman PHK Mengintai Karyawan Industri Telekomunikasi

Dalam situasi ini, lanjut dia, PHK bisa saja dilakukan dengan pesangon maksimal 9 bulan upah, di luar uang penghargaan kerja dan tunjangan lain. "Kan merger ini sama dengan efisiensi, sehingga harus ada pesangon yang sesuai. Maksimal 9 bulan dikalikan 2, ditambah tunjangan lain," ujar Hadi.

Kedua, jika perusahaan yang menghendaki PHK, aturan menjadi berbeda. Prinsipnya, menurut dia, perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja, namun tetap memberi jalan keluar terbaik bagi pekerja. Seperti diketahui, di dunia internasional perkembangan teknologi erat kaitannya dengan efisiensi dan PHK.

Microsoft contohnya, perusahaan raksasa itu melakukan pemutusan hubungan kerja dengan 4 persen karyawan atau sekira 4 ribu orang. Indonesia juga mengakomodasi hal tersebut, tapi tetap dengan memperhitungkan kelayakan bagi karyawan yang akan dirumahkan.

"Sangat boleh dilakukan (PHK), Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 mengatur itu," kata Hadi.

Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys juga memiliki penilaian yang serupa. Merza menilai efisiensi di industri teknologi informasi dan telekomunikasi tidak bisa dihindari. Pasalnya, efisiensi merupakan suatu tuntutan yang terjadi dalam proses bisnis yang terus berulang.

Baca Juga: TAJI Gugat PHK Sepihak Jurnalis Harian Pikiran Rakyat

“Efisiensi di bisnis telko merupakan proses bisnis yang berulang dan suatu tuntutan yang tak bisa dihindari,” ujar Merza. Pernyataan Merza tersebut mengomentari tren di industri teknologi informasi global yang cenderung mengurangi jumlah pekerja digantikan teknologi yang makin canggih serta pergeseran preferensi konsumen yang kian dinamis.

"Ibaratnya kalau nafasnya berat, sudah saatnya cari tempelan dengan nafas yang masih panjang. Kalau tidak, ya diambil alih oleh mereka yang nafasnya masing panjang," katanya.

Terkait isu tentang adanya efisiensi yang mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri teknologi informasi dan telekomunikasi, Merza menyerahkan keputusan tersebut pada perusahaan. "Kalau itu (keputusan) masing-masing perusahaan,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI