Meikarta seolah menjadi kosa kata baru dalam jagad perbincangan di kalangan masyarakat konsumen di Indonesia. Promosi, iklan dan marketing yang begitu masif, terstruktur dan sistematis, boleh jadi membius masyarakat konsumen untuk bertransaksi Meikarta. Bahkan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun sempat memprotes sebuah redaksi media masa cetak, karena lebih dari 30 persennya isinya adalah iklan full colour Meikarta lima halaman penuh, dari media cetak bersangkutan.
"Dengan nilai nominal yang relatif terjangkau masyarakat perkotaan (Rp 127 jutaan), sangat boleh jadi 20.000-an konsumen telah melakukan transaksi pembelian/pemesanan," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi di Jakarta, Jumat (11/8/2017).
Kendati Wagub Provinsi Jawa Barat Dedi Mizwar, telah meminta pengembang apartemen Meikarta untuk menghentikan penjualan dan segala aktivitas pembangunan (karena belum berizin), namun promosi Meikarta tetap berjalan untuk menjual produk propertinya.
Boleh saja pihak Lippo Group menilai bahwa apa yang dilakukannya tersebut sudah lumrah dilakukan pengembang dengan istilah Pre-project Selling. Namun, praktik semacam itu pada akhirnya konsumen berada dalam posisi yang sangat rentan dirugikan karena tidak memiliki jaminan atas kepastian pembangunan.
Baca Juga: Ini Klarifikasi Kementerian ESDM soal Kontroversi Meikarta
"Padahal pemasaran yang dilakukan tersebut, diduga kuat melanggar ketentuan Pasal 42 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang mewajibkan pengembang untuk memiliki jaminan atas kepastian peruntukan ruang; kepastian hak atas tanah; kepastian status penguasaan gedung; perizinan; dan jaminan pembangunan sebelum melakukan pemasaran," ujar Tulus.
Menurut data YLKI, sistem pre-project selling dan pemasaran yang dilakukan oleh banyak pengembang sering menjadi sumber masalah bagi konsumen di kemudian hari. Terbukti sejak 2014-2016, YLKI menerima sekurangnya 440 pengaduan terkait perumahan, yang mayoritas masalah tersebut, akibat tidak adanya konsistensi antara penawaran dan janji promosi pengembang dengan realitas pembangunan yang terjadi. Bahkan 2015, sekitar 40 persen pengaduan perumahan terjadi sebagai akibat adanya pre project selling, yakni adanya informasi yang tidak jelas, benar dan jujur; pembangunan bermasalah; realisasi fasum/fasos; unit berubah dari yang ditawarkan.
"Praktik semacam itulah yang menyerimpung komedian tunggal Mukhadly, alias Acho: janji dan promosi pengembang tidak sesuai dengan realisasi di lapangan," tambahnya.
Maka dari itu, untuk menghindari terulangnya kasus Acho dengan skala yang lebih luas, YLKI menghimbau masyarakat untuk menunda pemesanan dan/atau membeli unit apartemen di Kota Meikarta sampai jelas status perizinan dan legalitasnya. Jangan tergiur dengan iming-iming dan janji fasum/fasos yang ditawarkan oleh pengembang. "Sebelum menandatangani dokumen pemesanan, bacalah dengan teliti, dan saat pembayaran booking fee harus ada dokumen resmi, jangan dengan kwitansi sementara," jelas Tulus.
Selain itu, YLKI mendesak managemen Lippo Group untuk menghentikan segala bentuk promosi, iklan, dan bentuk penawaran lain atas produk Apartemen Meikarta sampai seluruh perizinan dan aspek legal telah dipenuhinya. "Lippo Group jangan berdalih bahwa pihaknya sudah mengantongi IMB, padahal yang terjadi sebenarnya adalah baru pada tahap proses permohonan pengajuan IMB saja," tuturnya.
Baca Juga: Lippo Klaim Polemik Izin Pembangunan Kota Meikarta Sudah Tuntas
Terakhir, YLKI mendorong Pemerintah menindak tegas, bahkan jika perlu menjatuhkan sanksi atas segala bentuk pelanggaran perizinan dan pemanfaatan celah hukum yang dilakukan oleh pengembang dan terbukti merugikan konsumen. "Siapapun pengembangnya," pungkas Tulus.