Belum lama ini, beberapa pihak membuat pernyataan yang menunjukkan bahwa kenaikan cukai telah berakibat menurunnya produksi rokok di Indonesia sehingga berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) serta pada petani. Menanggapi hal ini, Komnas Pengendalian Tembakau meluruskan pernyataan-pernyataan tersebut sehingga masyarakat dapat menerima informasi yang seimbang.
Anggota Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau, Prof. Hasbullah Thabrany mengatakan bahwa buruh dan petani selalu saja diperalat. "Faktanya, produksi rokok industri besar dalam lima tahun terakhir tetap tinggi, tetapi jumlah karyawan menurun. Mereka menggunakan mesin yang lebih "patuh" dan "tidak rewel". Volume penjualan dan laba bersih terus naik, meskipun cukai rokok mesin ini sudah 56 persen harga. Sementara, rokok linting tangan yang cukainya cuma sekitar 40 persen dari harga, tidak berkembang dan banyak mengalami PHK, bukan karena cukai, tetapi karena mereka kalah bersaing, digusur perusahaan besar,” kata Hasbullah di Jakarta, Kamis (27/7/2017).
Beliau menghimbau agar federasi buruh dan petani membuka mata dan mempelajari baik-baik masalah ini. Jangan sampai industri terus-terusan memperalat mereka sebagai senjata untuk menjatuhkan upaya-upaya pengendalian tembakau yang bertujuan melindungi masyarakat, termasuk buruh dan petani sendiri.
Baca Juga: APTI: Petani Bisa Sediakan 80 Persen Kebutuhan Tembakau Nasional
Cukai rokok adalah salah satu instrumen kebijakan pengendalian atas konsumsi rokok di Indonesia, termasuk instrumen kesehatan sebagai alat perlindungan masyarakat dari bahaya rokok. Zat adiktif dalam rokok menyebabkan permintaan terhadap produk ini inelastik, artinya perokok tidak akan berhenti membeli rokok dengan perubahan harga yang sangat kecil.
Indonesia adalah negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi. Perilaku merokok penduduk 15 tahun ke atas masih belum terjadi penurunan dari 2007 sampai 2013, cenderung meningkat dari 34,2 persen tahun 2007 menjadi 36,3 persen tahun 2013. Sebanyak 64,9 persen laki-laki dan 2,1 persen perempuan masih menghisap rokok pada tahun 2013. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang (Riskesdas, 2013). Perlu kita ketahui, Indonesia juga merupakan negara terbesar keempat tertinggi konsumsi rokok per orang (Tobacco Atlas, 2014). Usia mulai merokok di Indonesia makin muda. Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun (Riskesdas, 2013). Tingginya jumlah perokok di Indonesia salah satu penyebabnya adalah harga rokok yang masih sangat terjangkau oleh masyarakat miskin dan anak-anak.
"Tren kenaikan cukai di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia hanya mengenakan cukai 57 persen sementara negara lainnya misalnya Bangladesh (77 persen), Sri Lanka (63 persen), dan Thailand (73 persen). Data ini mengacu WHO Report on the Global Tobacco Epidemic tahun 2017," ujar Hasbullah.
Meskipun kekuatan industri rokok sangat tinggi, pemerintah harus tetap berperan sebagai regulator. Langkah menaikkan cukai rokok harus dilakukan pemerintah untuk dapat menekan jumlah perokok dan mengurangi dampak bawaan dari konsumsi rokok, misalnya kenaikan penyakit tidak menular yang tinggi dan kemiskinan. Kombinasi penghasilan dari 6 perusahaan besar rokok di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 342 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan 38 persen Gross National Income Indonesia (Tobacco Atlas, 2013). Tidak mengherankan apabila industri rokok memiliki kekuatan yang kuat untuk menekan sebuah negara.
"Dengan demikian, dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk memperkuat komitmen pejabat publik dan kesadaran masyarakat bahwa kenaikan cukai dibutuhkan sebagai mekanisme pengendalian dari konsumsi rokok yang tinggi di Indonesia," ujar Hasbullah.
Baca Juga: Pertanian Tembakau Harus Diperkuat Demi Industri Rokok Kretek
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Dr.dr Prijo Sidipratomo, Sp.Rad, menambahkan bahwa selama ini, cukai rokok konsisten naik setiap tahunnya dan penjualan rokok tetap tinggi bahkan melebihi target roadmap perindustrian.