Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, akhirnya memberikan pernyataan resmi terkait masalah penggeledahan gudang beras milik PT Indo Beras Unggul di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (20/7/2017). Andi membeberkan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) tersebut.
Menurutnya, masalah hukum PT IBU diserahkan pada penegak hukum. Sedangkan masalah produksi pangan menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian beserta seluruh pihak yang terkait. Sementara masalah disparitas harga ditangani oleh Satgas Pangan yang terdiri Polri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN/ Perum Bulog, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
"Ada dua jenis subsidi terkait beras, yaitu subsidi input dan subsidi output. Subsidi output berupa subsidi harga beras atau biasa disebut beras sejahtera (Rastra) untuk rumahtangga sasaran (pra sejahtera) yang besarannya sekitar Rp 19,8 triliun yang pendistribusiannya satu pintu melalui Bulog," kata Andi dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (25/7/2017).
Baca Juga: Tiga Pilar Sejahtera Kaget Sahamnya Anjlok Akibat Beras Oplosan
Sementara itu, subsidi input terkait beras, berupa subsidi benih sekitar Rp1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp31,2 triliun. Selain subsidi input, pemerintah juga memberikan bantuan pupuk, benih, pestisida, asuransi pertanian, alat mesin pertanian dan jaringan irigasi kepada petani yang besarnya puluhan triliun rupiah.
Adapun beras yang ditemukan di Bekasi berasal dari gabah Varietas Unggul Baru (VUB), diantara varietas IR 64 yang turunannya antara lain: Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung dan Cibogo. Total VUB yang digunakan petani sekitar 90 persen dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun. "Kesukaan petani terhadap varietas ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru selalu diistilahkan dengan "IR 64" baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggul baru itu adalah sejenis IR. Apapun varietasnya, petani umumnya menyebutnya benih jenis IR," jelas Andi.
Andi menjelaskan bahwa hampir seluruh beras kelas medium dan premium itu berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru (VUB) yang diproduksi dan dijual petani kisaran Rp 3.500-4.700/kg gabah. Gabah diolah atau digiling menjadi beras di petani berkisar Rp 6.800-7.000/kg dan petani menjual beras berkisar Rp 7.000/kg dan penggilingan/Pedagang kecil menjual Rp. 7.300/kg ke Bulog. Harga yang dijual ke Bulog menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras.
"Terkait dengan perusahaan yang diperkirakan membeli gabah/beras jenis varietas VUB dari petani, penggilingan, pedagang, selanjutnya dengan prosessing/ diolah menjadi beras premium dan dijual dalam kemasan 5kg atau 10kg ke konsumen harga Rp 23.000-26.000/kg. Diperhitungkan terdapat disparitas harga beras premium antara harga ditingkat petani dan konsumen berkisar 300 persen," tutur Andi.
Berdasarkan temuan di beberapa supermarket harga beras, cap Ayam Jago jenis pulen wangi super dan pulen wangi Giant Cilandak, Jakarta Selatan masing-masing Rp 25.380 per kg dan Rp 21.678 per kg. Supermarket Kemayoran, Jakarta Utara Rp 23.180 per kg. Kemudian di Malang Town Square, ayam jago beras pulen wangi super mencapai Rp 26.305 per kg.
Baca Juga: Produsen Beras Maknyuss Angkat Suara soal Beras Oplosan
Sementara dijumpai perusahaan lain membeli gabah ke petani dengan harga yang relatif sama, diproses menjadi beras medium dan dijual harga normal medium rata-rata Rp 10.519/kg beras. Diperkirakan disparitas harga beras medium ini di tingkat petani dan konsumen Rp3.219/kg atau 44 persen.
Andi menambahkan bahwa nilai ekonomi bisnis beras ini secara nasional Rp 10.519/kg x 46,1 juta ton mencapai Rp484 triliun. Diperhitungkan untuk memproduksi beras tersebut biaya petani Rp278 triliun dan memperoleh marjin Rp65,7 triliun. Sedangkan pada sisi hilir, konsumen membeli beras kelas medium rata-rata saat ini Rp 10.519/kg setara Rp 484 triliun, dan bila konsumen membeli beras premium maka angkanya jauh lebih tinggi lagi. Sementara pedagang perantara atau middleman setelah dikurangi biaya prosesing, pengemasan, gudang, angkutan dan lainnya diperkirakan memperoleh marjin Rp133 triliun.
Melihat kesenjangan profit marjin antara pelaku ini tidak adil, dimana keuntungan produsen petani sebesar Rp65,7 triliun ini bila dibagi kepada 56,6 juta anggota petani padi (data BPS diolah), maka setiap petani hanya memperoleh marjin Rp1 juta - Rp 2 juta pertahun. Sementara setiap pedagang/middleman secara rata-rata memperoleh Rp133 triliun dibagi estimasi jumlah pedagang 400 ribu orang, sehingga rata - rata per orang Rp300an juta per pedagang. Keuntungan tersebut adalah rata-rata, ada yang mendapat keuntungan sangat besar ada yang mendapat keuntungan sangat kecil.
"Satgas pangan menginginkan keuntungan terdistribusi secara adil dan proporsional kepada petani, pedagang beras kecil dan melindungi konsumen," jelas Andi.
Adapun hitungan keekonomian secara nasional dari bisnis beras premium/khusus: bila diketahui marjin minimal Rp 10.000/kg dikalikan total beras premium yang beredar diperkirakan 1,0 juta ton (atau 1 miliar kg), ditaksir 2,2 persen dari produksi beras nasional sebesar 45 juta ton setahun. Dengan demikian, terdapat disparitas keekonomian sekitar Rp10 triliun. "Bagaimana kalau hal ini terjadi selama beberapa tahun yang lalu?," tambah Andi.
Pemerintah membeli gabah sesuai HPP untuk melindungi petani saat harga jatuh dan membeli gabah diatas HPP oleh Bulog dengan pola komersial. Pemerintah mendorong agar harga lebih bagus sehingga menguntungkan petani.
Komoditas beras sendiri termasuk barang pokok yang diatur dan diawasi pemerintah berdasarkan Perpres No. 71/2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting. Permendag 63/2016, Permendag No. 27/2017 dan Permendag No. 47/2017 jugamengatur harga acuan bawah untuk melindungi petani dan harga acuan atas untuk melindungi konsumen.
"Terkait dengan kasus PT.IBU saat ini sedang dalam proses penyidikan aparat hukum. Marilah kita menghormati proses hukum tersebut. Kita berharap penanganan permasalahan ini berdampak positif menciptakan ekonomi yang berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan petani, tidak merugikan konsumen dan kondusif bagi kestabilan ekonomi nasional," tutup Andi.