Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa memastikan beras yang digrebek polisi di pabrik beras milik PT. Indo Beras Unggul di Jalan Rengasbandung, Kilometer 60, Kedungwaringin, Bekasi, Jawa Barat, bukanlah beras kesejahteraan (rastra). Khofifah bisa menjamin itu setelah mengkonfirmasi hal tersebut ke jajaran Badan Urusan Logistik (Bulog).
Dia menambahkan, rastra merupakan beras yang sudah ada di gudang Bulog.
"Bukan (rastra), saya sudah konfirmasi ke direksi Bulog. Kalau dia diambil dari gudang Bulog saya bisa pastikan itu rastra tapi kalau dibeli di petani sangat mungkin IR64 yang dapat subsidi pupuk dan subsidi benih," kata Khofifah di DPR, Jakarta, Senin (24/7/2018).
Baca Juga: Komisi IV DPR akan Panggil Berbagai Pihak Soal Beras Oplosan
Menurut Khofifah, dengan posisi seperti ini, tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh PT. IBU.
Khofifah pun mengatakan ada hikmah atas temuan ini. Dia berharap ada regulasi yang mengatur agar ada keuntungan yang didapat Bulog ketika benih dan pupuk bersubsidinya dipakai oleh perusahaan tertentu.
"Sampai hari ini belum ada regulasi yang mengatur kalau ini dapat subsidi pupuk dan benih maka sekian persen harus diserap Bulog misalnya. Itu yang belum. Tapi saya sudah sampaikan ke Pak Mentan untuk segera disiapkan regulasi seperti itu," kata dia.
Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang terdiri dari Mabes Polri, Kementerian Pertanian (Kementan), dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggerebek pabrik beras PT Indo Beras Unggul di Jalan Rengasbandung Kilometer 60, Kedungwaringin, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (20/7/2017) malam.
Dalam penggerebekan itu, Satgas Pangan mengamankan beras sebanyak 1.162 ton jenis IR 64 yang akan dijadikan beras premium dan dijual dengan harga tiga kali lipat di pasaran. Diketahui pula, PT. IBU memoles padi yang dibeli dari petani dengan harga Rp7 ribu per kilogram kemudian dipoles menjadi beras premium, dan dijual dengan harga sebesar Rp20.400 per kilogram.
Baca Juga: Saham AISA Turun Karena Kasus Beras Oplosan, BEI Angkat Tangan
Praktik kecurangan PT IBU ini diperkirakan membuat negara mengalami kerugian hingga ratusan trliun rupiah.