Hasil Audit BPK Terkait JITC Dianggap Bermuatan Politis

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 19 Juli 2017 | 22:44 WIB
Hasil Audit BPK Terkait JITC Dianggap Bermuatan Politis
Direktur Kajian Ekonomi dan Bisnis Indonesia Development Monitoring Ferdinand Situmorang. [Dok IDM]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Direktur Kajian Ekonomi dan Bisnis  Indonesia Development Monitoring ( IDM), Ferdinand Situmorang, menilai perpanjangan pengoperasian terminal peti kemas JICT telah menjadi persoalan hangat. Terlebih karena ada ketidak beresan dalam proses perpanjangan oleh Pelindo II kepada pihak Hunchinson Porf Holding (HPH). Ia melihat masalah ini lebih terkesan berbau politik dibandingkan mendudukkan persoalan yang sebenarnya .

Ferdinand mengaku terkait hasil audit Badan Pemerika Keuangan (BPK) yang diminta oleh Pansus DPR RI tentang Pelindo II, menurutnya tidak professional. Ia menilai audit BPK tersebut banyak melakukan pelanggaran kode etik dalam proses audit dan laporannya lebih ditujukan untuk menyudutkan serta mendelegitimasi  Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.

"Kalau mau jujur perjanjian perpanjangan pengoperasis terminal peti kemas JICT dengan antara pelindo 2 dan HPH terjadi pada bulan Agustus 2014 ,dimana Pelindo II dan HPH sepakat memperpanjang durasi kerja sama selama 25 tahun, mulai 2014 hingga 2039," kata Ferdinand dalam siarang persnya, Rabu (19/7/2017).

Mantan Senior GM PT Rukindo tersebut menegaskan sebenarnya perjanjian pengoperasian JICT oleh HPH dimulai tahun 2019 -2039. Hingga tahun 2019 masih berlaku perjanjian yang lama yaitu perjanjian yang dilakukan tahun 1999 hingga 2019.

Baca Juga: KPK Periksa Pejabat BPK di Kasus Suap Kemendes

Dia menyebutkan tudingan BPK terhadap Menteri BUMN Rini Soemarno telah melakukan kelalaian pengawasan kementerian terhadap proses kerja sama tersebut adalah salah besar sebab payung Besar perjanjian perpanjangan pengoperasian JICT oleh HPH sudah terjadi di era Menteri Dahlan Iskan saat menjadi menteri BUMN. Pada saat itu, terjadi juga penunjukan Deutsche Bank (DB) sebagai financial advisor oleh PT Pelindo II  untuk melakukan penilaian  dalam menilai penawaran dari HPH.

"Sangat jelas sekali kalau hasil audit BPK sangat tidak professional dan lebih ditujukan untuk menyudutkan Menteri BUMN Rini Soemarno ," tegasnya.

Menurutnya, tidaklah mungkin seorang Menteri BUMN sekalipun sebagai pemegang kendali terhadap BUMN - BUMN, tetapi tidak serta merta bisa melakukan pembatalan perjanjian antara  Pelindo II dan Pihak HPH. "Karena Pelindo 2 sekalipun milik negara 100 Persen tetapi juga tunduk pada UU Perseroaan Terbatas Dalam pengelolaannya ,artinya bukan menjadi tanggung jawab Menteri BUMN ketika pelindo II melakukan Aksi korporasinya ," ujarnya.

Menurutnya, hasil Audit BPK terkait pengoperasian JICT oleh HPH sangat tidak professional. Ia menduga kondisi ini terjadi karena semacam balas jasa dari Anggota BPK yang baru saja terpilih kepada DPR.

"Karena itu Indonesia Development Monitoring sangat menyayangkan kerja BPK yang tidak professional dan terkesan pesanan serta banyak pelanggaran Kode etik dalam proses auditnya," ungkapnya.

Baca Juga: Dapat Hasil Audit BPK dari Pansus, KPK Janji Ungkap Kasus Pelindo

Ia menduga audit BPK orderan DPR bersifat politis dan banyak melanggar kepatuhan dan etik dalam tata cara audit. Menurutnya, sangat aneh  sekali potensi kerugian yang disajikan tidak mengunakan sebuah analysis perkiraaan keadaan ekonomi dan perkembangan bisnis terminal peti kemas JICT hingga tahun 2039. Keanehan lain audit BPK tersebut adalah tidak memperhitungkan akan adanya kompetitor JICT seperti New Priok Container Terminal yang dikelola Pelindo dan kompetitor HPH Hongkong  didunia yaitu PSA  Singapore. Mereka memiliki luas lahan yang lebih luas dari JICT dan Fasilitas yang lebih bagus yang di masa mendatang bisa menggilas market dan pendapatan JICT.

"Bahkan, dimana kondisi   yang   ada   saat   ini   fasilitas   Terminal   JICT   I   di   dermaga   sisi   utara   masih   memiliki   kedalaman‐14LWS   dan   dermaga   sisi   barat   memiliki   kedalaman   -‐10LWS   sehingga   hanya   dapat   disandari   oleh  kapal   berkapasitas   kurang   dari   5.000   TEUs.   Sedangkan   terminal   JICT   II   hanya   memiliki   kedalaman  ‐8,5LWS     dan   saat   ini   under   utilized   karena   hanya   dapat   disandari   oleh   kapal-‐kapal   kecil  berkapasiitas   tidak   lebih   dari   1.500   TEUs," jelas Ferdinand.

Adapun  Terminal   NewPriok   Tahap   I   yang   terdiri   dari   tiga   container   terminal   akan   memiliki   fasilitas  dermaga   dengan   kedalaman   hingga   -‐20LWS   yang   akan   mampu   disandari   oleh   kapal   berkapasitas  hingga   18.000   TEUs.   Terminal   baru   ini   akan   menciptakan   kompetisi   dengan   terminal-‐terminal   yang  sudah   ada   agar   dapat disandari   oleh kapal-‐kapal   dengan   kapasitas   besar.  

"BPK juga  tidak pernah memprediksi memperhitungkan dalam 20 tahun mendatang akan dibangun pelabuhan Internasional yang jauh lebih besar dan dekat dengan pusat Industri di Jawa Barat seperti rencana Pemprov Jawa Barat akan membangun pelabuhan internasional ini juga akan berdampak pada pendapatan JICT di masa mendatang," tuturnya.

Menurutnya, Surat Meneg BUMN Rini Soemarno dengan nomor S318/MBU /6/2015 tertanggal  9 Juni 2016  juga tidak terdapt sesuatu yang salah. Sejumlah poin yang disyaratkan oleh Menteri BUMN dalam proses perpanjangan kepada Direksi Pelindo II ketika dipimpin RJ Lino, seperti surat Menhub yang mengingatkan tentang proses perpanjangan pengoperasian JICT memang sudah seharusnya dengan meminta ijin Kementerian perhubungan sebagai Regulator.

Selain itu, kepemilikan saham JICT harus minimal 51 persen. Ini sesuai UU dan Peraturan yang berlaku dengan Tata kelola Perusahaan yang Baik "Jadi sebaiknya Joko Widodo dan KPK jangan terkecoh dengan hasil audit BPK tersebut sebagai cara untuk mendegradasi dan menyalahkan kementerian BUMN," tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI