Direktur Kajian Ekonomi dan Bisnis Indonesia Development Monitoring ( IDM), Ferdinand Situmorang, menilai perpanjangan pengoperasian terminal peti kemas JICT telah menjadi persoalan hangat. Terlebih karena ada ketidak beresan dalam proses perpanjangan oleh Pelindo II kepada pihak Hunchinson Porf Holding (HPH). Ia melihat masalah ini lebih terkesan berbau politik dibandingkan mendudukkan persoalan yang sebenarnya .
Ferdinand mengaku terkait hasil audit Badan Pemerika Keuangan (BPK) yang diminta oleh Pansus DPR RI tentang Pelindo II, menurutnya tidak professional. Ia menilai audit BPK tersebut banyak melakukan pelanggaran kode etik dalam proses audit dan laporannya lebih ditujukan untuk menyudutkan serta mendelegitimasi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
"Kalau mau jujur perjanjian perpanjangan pengoperasis terminal peti kemas JICT dengan antara pelindo 2 dan HPH terjadi pada bulan Agustus 2014 ,dimana Pelindo II dan HPH sepakat memperpanjang durasi kerja sama selama 25 tahun, mulai 2014 hingga 2039," kata Ferdinand dalam siarang persnya, Rabu (19/7/2017).
Mantan Senior GM PT Rukindo tersebut menegaskan sebenarnya perjanjian pengoperasian JICT oleh HPH dimulai tahun 2019 -2039. Hingga tahun 2019 masih berlaku perjanjian yang lama yaitu perjanjian yang dilakukan tahun 1999 hingga 2019.
Baca Juga: KPK Periksa Pejabat BPK di Kasus Suap Kemendes
Dia menyebutkan tudingan BPK terhadap Menteri BUMN Rini Soemarno telah melakukan kelalaian pengawasan kementerian terhadap proses kerja sama tersebut adalah salah besar sebab payung Besar perjanjian perpanjangan pengoperasian JICT oleh HPH sudah terjadi di era Menteri Dahlan Iskan saat menjadi menteri BUMN. Pada saat itu, terjadi juga penunjukan Deutsche Bank (DB) sebagai financial advisor oleh PT Pelindo II untuk melakukan penilaian dalam menilai penawaran dari HPH.
"Sangat jelas sekali kalau hasil audit BPK sangat tidak professional dan lebih ditujukan untuk menyudutkan Menteri BUMN Rini Soemarno ," tegasnya.
Menurutnya, tidaklah mungkin seorang Menteri BUMN sekalipun sebagai pemegang kendali terhadap BUMN - BUMN, tetapi tidak serta merta bisa melakukan pembatalan perjanjian antara Pelindo II dan Pihak HPH. "Karena Pelindo 2 sekalipun milik negara 100 Persen tetapi juga tunduk pada UU Perseroaan Terbatas Dalam pengelolaannya ,artinya bukan menjadi tanggung jawab Menteri BUMN ketika pelindo II melakukan Aksi korporasinya ," ujarnya.
Menurutnya, hasil Audit BPK terkait pengoperasian JICT oleh HPH sangat tidak professional. Ia menduga kondisi ini terjadi karena semacam balas jasa dari Anggota BPK yang baru saja terpilih kepada DPR.
"Karena itu Indonesia Development Monitoring sangat menyayangkan kerja BPK yang tidak professional dan terkesan pesanan serta banyak pelanggaran Kode etik dalam proses auditnya," ungkapnya.
Baca Juga: Dapat Hasil Audit BPK dari Pansus, KPK Janji Ungkap Kasus Pelindo
Ia menduga audit BPK orderan DPR bersifat politis dan banyak melanggar kepatuhan dan etik dalam tata cara audit. Menurutnya, sangat aneh sekali potensi kerugian yang disajikan tidak mengunakan sebuah analysis perkiraaan keadaan ekonomi dan perkembangan bisnis terminal peti kemas JICT hingga tahun 2039. Keanehan lain audit BPK tersebut adalah tidak memperhitungkan akan adanya kompetitor JICT seperti New Priok Container Terminal yang dikelola Pelindo dan kompetitor HPH Hongkong didunia yaitu PSA Singapore. Mereka memiliki luas lahan yang lebih luas dari JICT dan Fasilitas yang lebih bagus yang di masa mendatang bisa menggilas market dan pendapatan JICT.
"Bahkan, dimana kondisi yang ada saat ini fasilitas Terminal JICT I di dermaga sisi utara masih memiliki kedalaman‐14LWS dan dermaga sisi barat memiliki kedalaman -‐10LWS sehingga hanya dapat disandari oleh kapal berkapasitas kurang dari 5.000 TEUs. Sedangkan terminal JICT II hanya memiliki kedalaman ‐8,5LWS dan saat ini under utilized karena hanya dapat disandari oleh kapal-‐kapal kecil berkapasiitas tidak lebih dari 1.500 TEUs," jelas Ferdinand.
Adapun Terminal NewPriok Tahap I yang terdiri dari tiga container terminal akan memiliki fasilitas dermaga dengan kedalaman hingga -‐20LWS yang akan mampu disandari oleh kapal berkapasitas hingga 18.000 TEUs. Terminal baru ini akan menciptakan kompetisi dengan terminal-‐terminal yang sudah ada agar dapat disandari oleh kapal-‐kapal dengan kapasitas besar.
"BPK juga tidak pernah memprediksi memperhitungkan dalam 20 tahun mendatang akan dibangun pelabuhan Internasional yang jauh lebih besar dan dekat dengan pusat Industri di Jawa Barat seperti rencana Pemprov Jawa Barat akan membangun pelabuhan internasional ini juga akan berdampak pada pendapatan JICT di masa mendatang," tuturnya.
Menurutnya, Surat Meneg BUMN Rini Soemarno dengan nomor S318/MBU /6/2015 tertanggal 9 Juni 2016 juga tidak terdapt sesuatu yang salah. Sejumlah poin yang disyaratkan oleh Menteri BUMN dalam proses perpanjangan kepada Direksi Pelindo II ketika dipimpin RJ Lino, seperti surat Menhub yang mengingatkan tentang proses perpanjangan pengoperasian JICT memang sudah seharusnya dengan meminta ijin Kementerian perhubungan sebagai Regulator.
Selain itu, kepemilikan saham JICT harus minimal 51 persen. Ini sesuai UU dan Peraturan yang berlaku dengan Tata kelola Perusahaan yang Baik "Jadi sebaiknya Joko Widodo dan KPK jangan terkecoh dengan hasil audit BPK tersebut sebagai cara untuk mendegradasi dan menyalahkan kementerian BUMN," tutupnya.