Jokowi Keluhkan Sawit Indonesia Dapat Kampanye Negatif di Eropa

Selasa, 11 Juli 2017 | 13:36 WIB
Jokowi Keluhkan Sawit Indonesia Dapat Kampanye Negatif di Eropa
Presiden Jokowi bertemu Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di KTT G20 Jerman. [Foto Intan - Biro Pers Setpres]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Saat berada di Jerman, Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte di Hotel Steigenberger, Hamburg, Jerman, Sabtu (8/7/2017). Dalam pertemuan tersebut, Presiden menekankan pada peningkatan kerja sama di sektor ekonomi dan penanggulangan terorisme.

Di bidang ekonomi, Presiden mengatakan bahwa Belanda merupakan salah satu mitra terpenting perdagangan dan investasi Indonesia di Eropa. Namun dalam beberapa tahun ini, angka perdagangan kedua negara menunjukkan tren menurun.

"Harapan saya, trend ini akan berbalik menjadi positif. Oleh karena itu, perlu kerja keras kita untuk mewujudkan trend positif perdagangan," kata Presiden. Presiden meyakini apabila negosiasi Indonesia-EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) telah selesai, maka perdagangan bilateral akan alami peningkatan.

"Ada satu hal yang ingin saya mintakan perhatian, yaitu terkait ekspor kelapa sawit Indonesia," ujarnya.

Presiden menggarisbawahi bahwa kelapa sawit Indonesia terus mengalami kampanye negatif di Eropa. "Baru-baru ini, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi mengenai sawit dan deforestasi. Penjelasan Indonesia sebelum resolusi sama sekali tidak diperhatikan," ucap Presiden.

Walaupun diakui Presiden bahwa resolusi tersebut sifatnya tidak mengikat bagi eksekutif, namun Presiden merasa khawatir kampanye hitam dan diskriminasi tersebut akan merugikan ekspor sawit Indonesia.
"Saya meminta kiranya Belanda dapat memberlakukan secara fair ekspor sawit Indonesia ke Eropa," kata Presiden.

Presiden juga mengharapkan Belanda dapat mendukung upaya Indonesia agar model kerja sama standarisasi kayu dan produk kayu melalui FLEGT dapat juga dibuat untuk sawit.

Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin membahas kerjama penanganan terorisme. Presiden mencatat semakin maraknya radikalisme dan aksi-aksi terorisme di berbagai wilayah dunia, termasuk di Asia dan Eropa. Serangan terorisme yang terjadi di Marawi adalah contoh nyata penyebaran ideologi radikal. Bahkan beberapa bagian kota Marawi sampai sekarang masih diduduki. Ratusan ribu penduduk terpaksa mengungsi.
"Serangan dan pendudukan kota Marawi ini menjadi wake–up call bagi kita semua tentang semakin tingginya bahaya terorisme," ucap Presiden.

Situasi ini tentunya dapat mengancam stabilitas kawasan. Oleh sebab itu, Indonesia berinisiatif mengadakan pertemuan tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Filipina. "Untuk menyatukan langkah dan kerja sama tiga negara memberantas terorisme," kata Presiden.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI