Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, PM. Laksono menyatakan, tembakau itu kembang tani yang menentukan daya tahan motivasi usaha para petani. Itulah sebabnya tembakau masih menjadi pilihan petani dalam bercocok tanam pada saat musim kemarau, disaat tanaman lain tidak bisa tumbuh dengan baik dan bahkan cenderung akan menambah beban biaya produksi taninya.
“Tembakau sejak zaman kolonial menjadi komoditas primadona andalan bernilai ekonomi tinggi yang telah memberikan keuntungan tidak sedikit bagi Pemerintah Hindia Belanda, sehingga dijuluki sebagai emas hijau,” kata PM. Laksono sebagaimana keterangan pers di Yogyakarta, Sabtu (1/7/2017).
Menurutnya, ditinjau dari berbagai perspektif, baik dari sisi hukum, ekonomi, sosial budaya, maupun kesehatan, komoditas tembakau merupakan komoditas yang sangat fenomenal, di satu sisi dijadikan andalan, di sisi lain dihindari.
Baca Juga: Sekjen APTI: Produktivitas Tanaman Tembakau Indonesia Rendah
Adanya kelompok yang pro kesehatan agar Indonesia meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), telah menimbulkan pro dan kontra terhadap nasib tembakau Indonesia khususnya yang terkait dengan industri rokok. Hal ini tentunya perlu disikapi secara bijaksana.
Dikatakannya, serapan tenaga kerja saat ini mencapai 6,1 juta orang baik langsung maupun tidak langsung di tingkat on-farm dan off-farm yang hidupnya terkait dengan komoditas tembakau, dan potensi dampak sosial serta konfliknya cukup besar.
Bahkan, kata dia, agribisnis tembakau telah menciptakan aliran ekonomi yang besar dan efek ganda (multiflier effect) dari hulu sampai hilir, antara lain tumbuhnya sektor sekunder dan tersier yang terkait dengan distribusi, pemasaran, perbankan, dan kegiatan pendukung lainnya.
Diakuinya, hasil panen komoditas tembakau nasional memang masih kurang. Mestinya pemerintah mendorong swasembada tembakau, yang mana tentunya membutuhkan proses dan waktu.
“Melihat kondisi geografis dan pola iklimnya, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu produsen komoditas tembakau terbesar di dunia, bahkan untuk pasar ekspor,” tegas dia.
Baca Juga: APTI: Tembakau Bebaskan NTB Dari Busung Lapar
Lebih lanjut menurutnya, program kemitraan antara petani dan pabrikan/pemasok, pada faktanya tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas pertanian tembakau tetapi juga terbukti meningkatkan kualitas dari tembakau karena petani akan mendapatkan bimbingan serta panduan praktik pertanian yang baik.
Selain itu, petani diberikan jaminan pasar dan akses langsung terhadap pabrikan/pemasok yang mana akan memotong mata rantai tata niaga perdagangan yang kompleks. Sayangnya, hingga saat ini hanya beberapa perusahaan yang telah menjalankan program kemitraan dan cakupannya pun masih dinilai sangat minim.
“Sehingga, diperlukan dukungan dari Pemerintah untuk mendorong program-program serupa di berbagai sentra pertanian tembakau. Sehingga, swasembada tembakau akan tercapai,” tukasnya.