Suara.com - PT. Modern International Tbk. akan menutup seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia mulai 30 Juni 2017. Praktisi bisnis Rhenald Kasali kurang setuju dengan pendapat sejumlah pengamat yang menyebutkan konsep 7-Eleven gagal diterapkan.
"Konsep nongkrong itu nggak salah, nyatanya konsep ini juga banyak ditiru perusahaan ritel lainnya. Menyediakan wifi, berbagai macam makanan ringan, dan kopi. Ini justru bisa mendongkrak penjualan. Maka dari itu saya bilang kurang tepat," kata Rhenald, Selasa (27/6/2017).
Justru Rhenald menyoroti regulator. Menurut Rhenald pemerintah belum siap dengan model bisnis yang dibawa Sevel. Itu sebabnya, Sevel kena dampak lantaran regulasi yang tumpang tindih antar kementerian.
"Jadi saat Sevel masuk ke Indonesia, regulasi yang mengaturnya itu nggak siap. Karena kan model bisnisnya berbeda dari ritel lainnya. Kementerian yang satu bilang boleh, tapi kementerian yang satunya bilang tidak boleh. Kementerian ini ingin menerapkan aturan dengan lainnya seperti ritel besar-besar yang tidak ada restorannya," katanya.
Akibat regulasi yang tumpang tindih, pengelolaan Sevel sulit.
"Karena supermarket itu diizinkan untuk menjual minuman beralkohol yang di bawah 5 persen misalnya bir, tiba-tiba dikatakan mereka tidak boleh jual bir, karena bukan supermarket," ujarnya.
Rhenald berharap kasus Sevel menjadi pembelajaran serius bagi regulator. Regulator, kata dia, harus memperbarui diri dan memahami perkembangan zaman.
Regulator, menurut Rhenald, seharusnya lebih terbuka dengan pemain-pemain baru.
"Ini kan juga bisa membuka lapangan kerja. Regulasinya bukan hanya untuk ritel ya, tapi semua jenis usaha. Ini sama kasusnya seperti taksi online, pemerintah juga tidak siap. Jadi harus terus diperbaharui regulasi itu, jangan menghambat," katanya.