Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan isu kebangkrutan Garuda Indonesia bukan lagi hal baru. Pasalnya lebih dari 10 tahun silam, maskapai penerbangan tertua di Indonesia ini juga pernah mengalami krisis finansial.
“Ini bukan berita baru. Garuda itu pernah untung kira- kira tahun 2014 karena dulu sebenarnya pernah untung besar setelah restrukturisasi kemudian beli pesawat baru dan seterusnya. Tahun depannya itu untungnya kecil lalu kemudian direvisi. Lalu lama- lama keuntungan besar itu habis karena setiap tahun direvisi,” papar Agus ketika menjadi narasumber di Forum Dialog HIPMI bertajuk “ Garuda Indonesia Ditengah Turbulensi” di Jakarta Selatan, Kamis, (15/6/2017).
Menurut Agus, krisis yang terjadi di Garuda Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dikatakannya bisnis penerbangan adalah jenis bisnis tunai dengan keuntungan kecil sekitar 1 sampai 5 persen saja.
Baca Juga: Garuda Indonesia Makin Kusut, Perlu Terobosan Pemerintah
“Bisnis penerbangan itu bisnis cash, bisnis tunai. Untungnya kecil hanya 1-5 persen. Jadi bahaya kalau Garuda tidak punya banyak cash. Kalau sekarang (Garuda Indonesia) untung 1 atau 2 persen saja sudah bagus,” jelas Agus.
Faktor kedua, sambungnya adalah masalah budaya perusahaan yang selalu menggunakan fasilitas premium dengan harga tinggi. Budaya seperti ini tidak pernah berubah dari waktu ke waktu meskipun perusahaan ini terancam pailit.
"Garuda punya culture yang hebat. Kalau tinggal di hotel, minimal harus hotel bintang lima. Pakai baju batik harus yang mahal, begitu terus wine nya juga yang kelas wide. Jadi memang sudah begitu budayanya dan itu susah diubah," kata Agus.
Kemudian, selain dari segi budaya perusahaan yang terkenal premium, masalah regulasi juga menjadi penghambat perkembangan Garuda Indonesia. Pasalnya, saat hendak membeli pesawat baru pemerintah melarang proses pembelian langsung melainkan harus melalui proses tender. Berbeda hal dengan paskapai penerbangan swasta lain seperti Lion Air yang bisa langsung mengirim pesawat dari Seatlle ke Jakarta.
“Regulasinya berat. Karena bisnis cash tadi dia kalau mau beli pesawat harus tender. Lion air mau beli pesawat tinggal datang saja. Saya pernah beberapa kali ikut mereka negosiasi maupun ambil pesawat baru,” kisahnya.
Baca Juga: Omset Garuda Indonesia Turun, DPR : BUMN Salah Kelola
Karena kebijakan pemerintah yang tidak mengizinkan pembelian pesawat secara langsung sering kali setelah proses tender selesai tren pesawat yang dibeli ternyata sudah turun dipasaran.