Pengamat: Tuduhan Skandal BLBI Pada Megawati Mengada-ngada

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 05 Juni 2017 | 12:36 WIB
Pengamat: Tuduhan Skandal BLBI Pada Megawati Mengada-ngada
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sekaligus Presiden Kelima Republik Indonesia, di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Kamis (17/11). [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, kembali dituding berbagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terbitnya Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI pada sejumlah Obligor di saat krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sekitar tahun 1997-1998. Tuduhan pada Presiden kelima Republik Indonesia ini sangat aneh dan mengada-ngada.

"Seolah-olah ada sebuah skema di luar masalah ekonomi dan soal SKL BLBI yang telah diputuskan melalui mandat politik dengan kontestasi pemilihan Presiden tahun 2014, soal manajemen pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Pemilu yang akan datang, tahun 2019," kata Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, di Jakarta, Senin (5/6/2017).

Defiyan mengaku prihatin saat ini bangsa dan negara Indonesia selalu diaduk-aduk oleh kepentingan-kepentingan politik ansich masa lalu yang sudah selesai menjadi kebijakan. Walau ia mengakui, kebijakan tersebut saat ini berdampak secara ekonomi dan keuangan negara.

Baca Juga: Subsidi Industri Biodiesel Bodong Dinilai Mirip Kasus BLBI

"Surat Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang dijadikan dasar melimpahkan kesalahan pemberian SKL bagi Obligor BLBI hanya pada Presiden Megawati merupakan tuduhan secara pihak ini adalah sebuah upaya pembunuhan karakter (character assasination) yang sangat tidak manusiawi," jelas Defiyan.

Perlu diketahui seluruh rakyat Indonesia dan para tokoh politik Indonesia, ia menuturkan bahwa Inpres yang dikeluarkan Presiden Megawati dikala itu merupakan tindak lanjut dari keputusan dan ketetapan bersama para wakil rakyat yang ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS yang berbentuk Master of Settlement Agreement and Acquisition Agreement (MSAA); Master of Refinancing and Not Issuance Agreement (MRNIA); dan Perjanjian PKPS dan Pengakuan Utang.

"Dengan demikian, TAP MPR adalah keputusan politik bersama yang diambil oleh para wakil rakyat sebagai representasi keputusan rakyat Indonesia atas situasi dan kondisi ekonomi dan keuangan negara pada saat itu," tutup Defiyan.

Baca Juga: KPK Pertimbangkan Terapkan Pidana Korporasi Penyidikan BLBI

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI