Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan menandakan dimulainya era baru perpajakan. Menurutnya, penerbitan Perppu ini patut diapresiasi sebagai langkah maju.
"Ini adalah bentuk komitmen Indonesia berpartisipasi dalam inisiatif global tentang AEOI (Automatic Exchange of Information) yang diprakarsai OECD dan G-20," kata Yustinus dalam keterangan resmi, Minggu (21/5/2017).
Ia menjelaskan aturan ini bersifat resiprokal, sehingga Indonesia harus menyelaraskan beberapa hal, antara lain klausul keterbukaan dalam ketentuan perundang-undangan, yang menjadi prasyarat pertukaran informasi keuangan. Dengan demikian Perppu ini merupakan sebuah keniscayaan (necessity requirement).
"Kegagalan mengambil langkah cepat dan tepat akan merugikan Indonesia karena rusaknya kredibilitas, ancaman pengucilan, dan kemungkinan dimasukkan dalam daftar hitam yurisdiksi rahasia," jelas Yustinus.
Baca Juga: Perppu No 1 Tahun 2017 Bukti Serius Reformasi Perpajakan Nasional
Ia menambahkan bahwa pemerintah baru saja menjalankan program pengampunan pajak yang berakhir 31 Maret 2017. Selama sembilan bulan wajib pajak dan masyarakat diberi kesempatan untuk mengungkapkan sendiri harta yang selama ini belum diungkap/dilaporkan. Salah satu jenis harta yang dapat dilaporkan adalah aset keuangan – baik yang tersimpan di dalam negeri maupun luar negeri.
Pengampunan pajak dapat disebut sebagai momen rekonsiliasi data antara wajib pajak dan otoritas pajak.
"Dari sudut kebijakan publik, pengampunan pajak adalah carrot/insentif dan AEOI/akses ke informasi/data keuangan adalah stick/disinsentif," tutup Yustinus.