Program Tax Amnesty memiliki empat tujuan, yakni meningkatkan penerimaan pajak (jangka pendek), penambahan jumlah Wajib Pajak (WP), memperluas dasar pemajakan (tax base), serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (jangka panjang).
Menurut anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, keempat tujuan tersebut mewakili upaya untuk mengatasi masalah-masalah klasik yang dalam satu dekade terakhir telah menghambat kinerja Ditjen Pajak dalam menyokong fungsi utamanya sebagai pengumpul dana bagi keberlangsungan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Misbakhun mengatakan, tanpa tax amnesty, diperkirakan terjadi penurunan potensi penerimaan. Tindak lanjut pasca tax amnestymenjadi kunci. Dimana arah umum strategi kebijakan teknis pengamanan penerimaan 2017 sudah ada di nota keuangan.
Baca Juga: Inilah Empat Keberhasilan Program Tax Amnesty
Untuk menjaga momentum pasca tax amnesty, Misbakhun pun mewanti-wanti pemerintah agar memperhatikan empat poin penting. Pertama, penegakan hukum. Baik berupa pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, maupun penyidikan pajak merupakan bagian integral dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan mencapai penerimaan pajak yang optimal pasca tax-amnesty.
“Efektivitas penegakan hukum serta revitalisasi pemeriksaan dan penyidikan pajak harus dimaksimalkan dan optimalkan dengan menggandeng aparat hukum,” kata Misbakhun pada seminar ‘Menakar Keberhasilan Tax Amnesty’ di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta, Rabu (17/5/2017).
Poin kedua, edukasi perpajakan berkelanjutan. Fakta di lapangan, kata Misbakhun, Wajib Pajak seringkali belum benar, lengkap, dan jelas dalam melaporkan kewajiban-kewajiban perpajakannya. Akibatnya, terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan pemeriksaan dan menghasilkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan jumlah yang sangat besar. Seringkali hanya diakibatkan oleh ketidaktahuan atau kelalaian yang berawal dari tidak terbaharuinya pengetahuan Wajib Pajak terhadap peraturan-peraturan perpajakan yang baru.
“Sementara, aturan pajak adalah aturan yang dinamis dan terus menerus berganti dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari tuntutan perkembangan bisnis,” ujar Misbakhun.
Ketiga, membangun data base dan sistem IT. Menurut Misbakhun, optimalisasi penerimaan pajak pada 2017 dan upaya untuk memperbaiki tax ratio yang masih rendah akan dilakukan melalui bantuan basis data perpajakan dengan memanfaatkan database hasil tax amnesty untuk memantau setoran pajak dari wajib pajak. Data tersebut jadi kunci untuk memastikan pembayaran pajak secara benar.
Baca Juga: Misbakhun Tegaskan Tax Amnesty Untuk Menggenjot Penerimaan Negara
“Sistem IT yang terintegrasi harus benar-benar terintegrasi dengan banyak pihak, tidak hanya di internal kementerian/lembaga, tetapi juga lintas kementerian/lembaga,” terangnya.
Poin keempat, pendulum reformasi perpajakan. Tax amnesty merupakan pintu masuk untuk melakukan reformasi pajak. Karena dari program ini akan ada penambahan basis pajak baru. Supaya reformasi pajak berkelanjutan, maka perlu ada revisi di beberapa undang-undang (UU) terkait pajak, salah satunya revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
Misbakhun menegaskan, revisi UU KUP adalah upaya melakukan reformasi secara struktural, dimana ada pasal pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP) yang lebih otonom. Selain melakukan perubahan secara struktur, dalam revisi UU juga perlu dilakukan perubahan pada administrasi pajak.
Salah satu poin perubahan administrasi, yaitu perubahan nomenklatur dari wajib pajak menjadi pembayar pajak. Kemudian untuk UU PPh dan PPN juga akan dilakukan perubahan tarif menyesuaikan dengan tarif negara-negara lain.
Dalam rangka reformasi pajak, lanjut Misbakhun, juga perlu revisi pada UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).Sementara, dalam revisi UU KUP ditekankan pada pemberian kepastian hukum, baik itu tata cara pendaftaran kemudian penetapannya dan hak-hak wajib pajak.
"Transformasi kelembagaan mendesak dilakukan," tukas Misbakhun.