INUKI: Pemanfaatan Energi Nuklir Seperti Ular Berkepala Dua

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 17 Mei 2017 | 19:40 WIB
INUKI: Pemanfaatan Energi Nuklir Seperti Ular Berkepala Dua
Direktur Utama PT Industri Nuklir Indonesia, Bambang Herutomo di Jakarta, Rabu (17/5/2017). [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Direktur Utama PT Industri Nuklir Indonesia (INUKI), Bambang Herutomo, mengakui pemanfaatan energi nukir untuk kepentingan damai selalui diwarnai kecurigaan. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa sejarah kelahiran energi nuklir memang terjadi pada masa Perang Dunia II (1939-1945).

"Pemanfaatan energi nuklir memang seperti ular berkepala dua. Tinggal kita mau memilih yang mana?," kata Bambang dalam seminar "Nuklir: Ancaman dan Manfaat" di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (17/5/2017).

Bambang menjelaskan bahawa energi nuklir ditemukan pada tahun 1938 ketika Otto Hahn dan Fritz Strassman menemukan reaksi fisi berantai Uranium. "Penemuan mereka menunjukkan bahwa reaksi fisi ini menghasilkan energi yang sangat besar," ujar Bambang.

Selepas Perang Dunia II, beberapa negara mulai mengembangkan energi nuklir sebagai sumber tenaga untuk pembangkit listrik. Pada 20 Desember 1951, dibangun untuk pertama kalinya di dunia pembangkitan daya listrik (non-grid) menggunakan energi nuklir (EBR-1 USA). Kemudian pada 27 Juni 1954, Uni Sovyet berhasil mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di dunia (power grid), di Obninsk (AM-1, daya 30 MWth/5 MWe).

Baca Juga: Resmi Dilantik Jadi Presiden, Macron Langsung Pegang Kode Nuklir

Selanjutnya pada 17 Oktober 1956, PLTN pertama di dunia yg beroperasi secara komersial muncul di Calder Hall, Britania Raya. Selanjutnya pada tahun 1957, Shippingport Atomic Power Station muncul menjadi full scale PLTN pertama di dunia.

Bambang melanjutkan, sampai tahun 2011 jumlah PLTN di seluruh dunia mencapai 425 PLTN. Adapun kapasitas terpasang dari total PLTN di seluruh dunia pada tahun 2011 mencapai lebih dari 350 Gigawatt (GW).

"Meskipun membangun PLTN tidak mudah. Selain investasinya mahal dan prosesnya rumit, juga beresiko dicurigai seolah PLTN tersebut juga berfungsi menjadi fasilitas produksi senjata nuklir," tutup Bambang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI