Versi Komunitas Kretek, Ini Lima Alasan FCTC Harus Ditolak

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 15 Mei 2017 | 14:13 WIB
Versi Komunitas Kretek, Ini Lima Alasan FCTC Harus Ditolak
Produk rokok kretek dari industri rokok tanah air. [Suara.com/Adhitya Himawan]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Gerakan anti tembakau termasuk di dalamnya Kementerian Kesehatan, masih getol mendorong aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Ada dua alasan yang dikemukakan Menteri Kesehatan. Pertama, untuk menstandarisasi rokok beserta pengaturan distribusinya; Kedua, Kemenkes malu karena sebagai salah satu pihak yang berkontribusi dalam penyusunan FCTC, Indonesia belum turut serta menandatangani.

Di lain sisi, Presiden Joko Widodo masih enggan menandatangai aksesi yang diusung oleh badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) tersebut. Selain Presiden, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian juga tidak sepakat dengan kerangka FCTC.

"Langkah presiden ini patut mendapatkan apresiasi sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sebab, melalui FCTC dianggap akan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan perusahaan farmasi, rokok putih, dan negara-negara penghasil tembakau Virginia," kata ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo di Jakarta, Senin (15/5/2017).

Aditia mengemukakan lima alasan kenapa Indonesia harus menolak FCTC. Pertama, tembakau sebagai komoditi strategis. Indonesia merupakan salah satu Negara penghasil tembakau berkualitas di dunia.

Baca Juga: Diversifikasi Tembakau Akan Matikan Kehidupan Petani

Kendati bukan tanaman asli Indonesia, kata Aditia, tembakau telah dibudidayakan petani sejak ratusan tahun. Ada ratusan varietas tembakau yang dibudidayakan petani di atas lahan seluas 250 ribu hektar. Banyak daerah yang terkenal dengan hasil tembakau seperti Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi, Madura, dan Lombok. Perusahaan rokok dan kretek nusantara menyerap 80 persen produksi tembakau lokal. Tidak hanya untuk produk rokok, tembakau juga dimanfaatkan masyarakat dalam keseharian seperti menginang dan prosesi-prosesi adat.

"Ada beberapa varietas tembakau yang dibudidayakan petani diekspor ke luar negeri untuk pembuatan cerutu, seperti tembakau Vorstenlanden dan Deli," ujarnya.

Kedua, lanjut dia, kretek sebagai hasil karya rakyat Indonesia. Bicara soal industri tembakau juga tidak bisa memisahkannya dari industri kretek nasional. Bicara tentang kretek juga tidak bisa dipisahkan dari proses panjang sejarah hingga saat ini. Kretek berbeda dengan rokok putih.

"Kretek menjadi bukti kekayaan produk budaya Indonesia. Kretek menggunakan tembakau lokal dan produk asli Indonesia, cengkeh, klembak, menyan dll," jelasnya.

Ketiga, rentannya tenaga kerja hulu-hilir. Dijelaskannya, industri tembakau dan kretek merupakan industri padat karya. Menurut data Kementerian Pertanian ada 6,1 juta tenaga kerja yang terserap dalam industri tembakau dari hulu hingga hilir. Jumlah tersebut meliputi 2 juta petani tembakau, 1,2 juta petani cengkeh, 600 ribu orang tenaga kerja pabrik rokok, 1 juta pengecer, dan 1 juta tenaga percetakan dan periklanan.

Baca Juga: Petani Tembakau Desak Pemerintah Tak Aksesi FCTC

"Hilangnya mata pencaharian akan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat Indonesia," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI